IPPS

IPPS
SC

Kamis, 29 November 2012

Kontroversi Putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 tentang Anak di Luar Nikah


Baru-baru ini dunia hukum di Indonesia digemparkan oleh Putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 dimana anak yang lahir di luar nikah tetap memiliki hubungan keperdataan (hukum) dengan bapaknya yang mampu dibuktikan secara biologis dan tekhnologi. Hal ini buntut dari permasalahan antara Machica Mochtar (penyanyi dangdut) dengan keluarga besar Moerdiono yang merupakan mantan Mensesneg (era Orde Baru). 


Machica yang merupakan pemohon Uji Materi atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1). Dalam pasal 2 ayat (2) yang mengatur bahwa “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku”. Dan Pasal 43 ayat (1) yang mengatur bahwa : “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.


Menurut pengusul uji materil. Kedua pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B ayat (1) dan (2) serta pasal 28D ayat (1). Pasal 28B ayat (1) “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 28B ayat (2) : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Sedangkan pasal 28D ayat (1) berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.


Sudah sangat jelas bahwa putusan Mk ini terbilang progresif di tengah tekanan dan kerasnya arus dinamika masyarakat. Kita sudah sangat mengetahui bahwa doktrin dan pemahaman yang muncul dalam benak masyarakat umum mengenai anak yang lahir di luar nikah sangat berimplikasi pada kehidupan anak tersebut. Begitu kejam dan keras stigma yang terbagun mengenai status anak tersebutlah sehingga timbul ketidakadilan dalam terhadap anak tersebut. Hal ini menjadi landasan berpijak para hakim MK yang diketuai Mahfud MD untuk merumuskan suatu gagasan maupun cara berfikir dan bertindak responsif mengenai permasalahan yang ada di masyarakat tersebut.


Meskipun kontroversi dan polemik yang terjadi di kalangan masyarakat, toh putusan MK tersebut sebenarnya bukan menjadi alasan dikarenakan seorang Machica saja yang menjadi aktor utamanya. Namun isi putusan tersebut bermakna keadilan bagi perempuan-perempuan seperti machica-machica lain di luar sana yang kerap mendapat ketidakadilan, dampaknya jelas bahwa anaklah yang menjadi sasaran ketidakadilan tersebut. Ini pun menjadi langkah maju dalam dunia hukum di Indonesia mengenai kaum-kaum lelaki maupun perempuan untuk tidak melakukan perzinahan di luar nikah karena danya beban pertanggung jawaban yang wajib di jalankan oleh kedua belah pihak. Dan mempertegas diadakannya revisi KUHP yang jelas-jelas sudah tidak sesuai dengan kondisi kekinian dimana konteks perzinahan dalam KUHP hanya mencakup mereka yang telah memiliki keluarga (selingkuh). 


Terlepas dari kasus Machica dan Keluarga besar Moerdiono, maka penulis akan menguraikan substansi pokok yang dinilai oleh penulis merupakan tindakan progresif dalam isi putusan tersebut. 


1.     Bahwa anak merupakan aset berharga dari sebuah keluarga (orang tua). Dimana ketika Tuhan telah menumbuhkan benih dalam rahim seorang wanita serta telah meniupkan rohnya ke dalam benih tersebut maka secara tidak langsung Tuhan telah membebankan sebuah tanggung jawab dan amanah kepada kedua orang tuanya untuk bertanggung jawab


2.    Bahwa tidak ada kata “anak haram” dalam istilah kehidupan kita. dalam semua agama maupun hukum pun tidak ada yang membenarkan istilah anak haram yang melekat dalam diri anak yang lahir di luar nikah. Bahkan ketika Tuhan telah menciptakan anak tersebut dari dalam rahim ibu dan meniupkan roh ke dalamnya maka anak tersebut merupakan bukti akan kasih sayangnya terhadap umat manusia. Sungguh semua anak adalah suci bersih, tak ada dosa 1 titik pun pada mereka, sehingga yang haram dalam hal ini hanya perbuatan kedua orangtuanya maka patut bagi mereka agar mempertanggungjawabkannya secara agama maupun hukum.


3.    Bahwa semua agama tidak ada yang mebenarkan perzinahan yang terjadi (di luar nikah) karena dampak terbesar (sebelum putusan MK ini) ialah terbengkalainya status sosial seorang anak yang secara hukum tidak bisa di akui oleh negara (pasal 250 BW Indonesia) serta mendapat harta warisan (pasal 869 BW Indonesia) kecuali setelahnya diadakan perkawinan secara sah (pasal 272 BW Indonesia) 


4.    Bahwa jelas ketidakadilan terbesar ketika anak biologis tak di akui oleh negara ialah ketidakadilan bagi para perempuan serta akan berdampak psikologis bagi anak tersebut. Hal ini justru menyuburkan sikap semena-mena para lelaki. Padahal dia juga yang telah menumbuhkan benih tersebut lalu pergi begitu saja. Inilah kenyataan yang sering terjadi bahkan sangat umum terjadi, kisah Machica hanya satu dari sekian ribu wanita yang diperlakukan sama oleh para lelaki. 


5.    Bahwa dengan adanya putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 tentang anak di luar nikah yang di akui secara biologis sangat jelas sangat menjunjung tinggi asas Equality before the Law  (persamaan di depan hukum)  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru yang meliputi 5 (lima) hal, salah satu diantaranya adalah prinsip persamaan dihadapan hukum, berlakunya persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law) dalam negara hukum bermakna bahwa Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara. Dengan demikian Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan


6.    Bahwa dengan adanya Putusan tersebut dimana putusan tersebut lebih bersifat menciptakan hukum (norma) yang patut untut di taati dan konsekuensi logis bagi pemerintah (khususnya Mendagri) untuk melakukan penerbitan akta kelahiran, sebagai diakuinya status keperdataan mereka  sebagai bagian dilindunginya hak-hak anak tersebut oleh hukum. Bukan malah hukum yang mendiskriminasi mereka.


Sudah sangat jelas mengenai substansi pokok yang di uraikan oleh penulis di atas maka Putusan MK tersebut sudah merupakan solusi yang tepat mengingat dampak positifnya ke depan begitu besar, tidak hanya bagi masyarakat melainkan bagi Pemerintah agar lebih memperhatikan masyarakat dengan cara :


1.     Membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan kondisi masyarakat serta dengan tujuan untuk ketertiban dan kesejahteraan.
2.    Membuat peraturan-peraturan yang melindungi hak-hak kemanusiaan, bukan malah menyebabkan permasalahan panjang karena adanya diskriminasi di dalam hukum
3.    Merevisi peraturan-peraturan yang di anggap tidak mampu lagi mengikuti perkembangan masyarakat.
4.    Melayani dan mengayomi masyarakat.
Maka solusi yang tepat harus didukung dengan tujuan yang tepat sasaran pula, maka tujuan terbesar dari adanya Putusan MK tersebut sudah terangkung dalam tulisan di atas.
Masih banyak lagi yang penulis ingin tuliskan dalam lembaran singkat ini, namun apa gunanya sebuah tulisan jika tak mampu di renungkan dan di implementasikan, maka tulisan tersebut bak sampah yang hanya memperbanyak kertas-kertas di bumi ini namun begitu berharganya kertas ini jika isinya mampu menjadi sumber ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar