Baru-baru ini dunia hukum di
Indonesia digemparkan oleh Putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 dimana anak yang
lahir di luar nikah tetap memiliki hubungan keperdataan (hukum) dengan bapaknya
yang mampu dibuktikan secara biologis dan tekhnologi. Hal ini buntut dari
permasalahan antara Machica Mochtar (penyanyi dangdut) dengan keluarga besar
Moerdiono yang merupakan mantan Mensesneg (era Orde Baru).
Machica yang merupakan pemohon Uji Materi atas UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1).
Dalam pasal 2 ayat (2) yang mengatur bahwa “ Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku”. Dan Pasal 43 ayat
(1) yang mengatur bahwa : “ Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”.
Menurut pengusul uji
materil. Kedua pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 pasal 28B ayat (1) dan (2) serta pasal 28D ayat (1). Pasal 28B ayat (1) “
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah. Pasal 28B ayat (2) : Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. Sedangkan pasal 28D ayat (1) berbunyi : “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Sudah
sangat jelas bahwa putusan Mk ini terbilang progresif di tengah tekanan dan
kerasnya arus dinamika masyarakat. Kita sudah sangat mengetahui bahwa doktrin
dan pemahaman yang muncul dalam benak masyarakat umum mengenai anak yang lahir
di luar nikah sangat berimplikasi pada kehidupan anak tersebut. Begitu kejam
dan keras stigma yang terbagun mengenai status anak tersebutlah sehingga timbul
ketidakadilan dalam terhadap anak tersebut. Hal ini menjadi landasan berpijak
para hakim MK yang diketuai Mahfud MD untuk merumuskan suatu gagasan maupun
cara berfikir dan bertindak responsif mengenai permasalahan yang ada di
masyarakat tersebut.
Meskipun
kontroversi dan polemik yang terjadi di kalangan masyarakat, toh putusan MK
tersebut sebenarnya bukan menjadi alasan dikarenakan seorang Machica saja yang
menjadi aktor utamanya. Namun isi putusan tersebut bermakna keadilan bagi
perempuan-perempuan seperti machica-machica lain di luar sana yang kerap
mendapat ketidakadilan, dampaknya jelas bahwa anaklah yang menjadi sasaran
ketidakadilan tersebut. Ini pun menjadi langkah maju dalam dunia hukum di
Indonesia mengenai kaum-kaum lelaki maupun perempuan untuk tidak melakukan
perzinahan di luar nikah karena danya beban pertanggung jawaban yang wajib di
jalankan oleh kedua belah pihak. Dan mempertegas diadakannya revisi KUHP yang
jelas-jelas sudah tidak sesuai dengan kondisi kekinian dimana konteks
perzinahan dalam KUHP hanya mencakup mereka yang telah memiliki keluarga
(selingkuh).
Terlepas
dari kasus Machica dan Keluarga besar Moerdiono, maka penulis akan menguraikan
substansi pokok yang dinilai oleh penulis merupakan tindakan progresif dalam
isi putusan tersebut.
1.
Bahwa anak merupakan aset berharga dari sebuah
keluarga (orang tua). Dimana ketika Tuhan telah menumbuhkan benih dalam rahim
seorang wanita serta telah meniupkan rohnya ke dalam benih tersebut maka secara
tidak langsung Tuhan telah membebankan sebuah tanggung jawab dan amanah kepada kedua
orang tuanya untuk bertanggung jawab
2.
Bahwa tidak ada kata “anak haram” dalam istilah
kehidupan kita. dalam semua agama maupun hukum pun tidak ada yang membenarkan
istilah anak haram yang melekat dalam diri anak yang lahir di luar nikah.
Bahkan ketika Tuhan telah menciptakan anak tersebut dari dalam rahim ibu dan
meniupkan roh ke dalamnya maka anak tersebut merupakan bukti akan kasih
sayangnya terhadap umat manusia. Sungguh semua anak adalah suci bersih, tak ada
dosa 1 titik pun pada mereka, sehingga yang haram dalam hal ini hanya perbuatan
kedua orangtuanya maka patut bagi mereka agar mempertanggungjawabkannya secara
agama maupun hukum.
3.
Bahwa semua agama tidak ada yang mebenarkan
perzinahan yang terjadi (di luar nikah) karena dampak terbesar (sebelum putusan
MK ini) ialah terbengkalainya status sosial seorang anak yang secara hukum
tidak bisa di akui oleh negara (pasal 250 BW Indonesia) serta mendapat harta
warisan (pasal 869 BW Indonesia) kecuali setelahnya diadakan perkawinan secara
sah (pasal 272 BW Indonesia)
4.
Bahwa jelas ketidakadilan terbesar ketika anak
biologis tak di akui oleh negara ialah ketidakadilan bagi para perempuan serta
akan berdampak psikologis bagi anak tersebut. Hal ini justru menyuburkan sikap
semena-mena para lelaki. Padahal dia juga yang telah menumbuhkan benih tersebut
lalu pergi begitu saja. Inilah kenyataan yang sering terjadi bahkan sangat umum
terjadi, kisah Machica hanya satu dari sekian ribu wanita yang diperlakukan
sama oleh para lelaki.
5.
Bahwa dengan adanya putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 tentang anak di luar nikah yang di akui secara
biologis sangat jelas sangat menjunjung tinggi asas Equality before the Law (persamaan di depan hukum) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1)
yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum." Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan
asas-asas Negara Hukum itu secara baru yang meliputi 5 (lima) hal, salah satu
diantaranya adalah prinsip persamaan dihadapan hukum, berlakunya persamaan
(Similia Similius atau Equality before the Law) dalam negara hukum bermakna
bahwa Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang
tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam
prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di
hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut
perlakuan yang sama bagi semua warga Negara. Dengan demikian Hukum harus
memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status setiap anak
yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang
dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan
6.
Bahwa dengan adanya
Putusan tersebut dimana putusan tersebut lebih bersifat menciptakan hukum
(norma) yang patut untut di taati dan konsekuensi logis bagi pemerintah
(khususnya Mendagri) untuk melakukan penerbitan akta kelahiran, sebagai
diakuinya status keperdataan mereka
sebagai bagian dilindunginya hak-hak anak tersebut oleh hukum. Bukan
malah hukum yang mendiskriminasi mereka.
Sudah
sangat jelas mengenai substansi pokok yang di uraikan oleh penulis di atas maka
Putusan MK tersebut sudah merupakan solusi yang tepat mengingat dampak
positifnya ke depan begitu besar, tidak hanya bagi masyarakat melainkan bagi
Pemerintah agar lebih memperhatikan masyarakat dengan cara :
1.
Membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan
kondisi masyarakat serta dengan tujuan untuk ketertiban dan kesejahteraan.
2.
Membuat peraturan-peraturan yang melindungi
hak-hak kemanusiaan, bukan malah menyebabkan permasalahan panjang karena adanya
diskriminasi di dalam hukum
3.
Merevisi peraturan-peraturan yang di anggap tidak
mampu lagi mengikuti perkembangan masyarakat.
4.
Melayani dan mengayomi masyarakat.
Maka
solusi yang tepat harus didukung dengan tujuan yang tepat sasaran pula, maka
tujuan terbesar dari adanya Putusan MK tersebut sudah terangkung dalam tulisan
di atas.
Masih
banyak lagi yang penulis ingin tuliskan dalam lembaran singkat ini, namun apa
gunanya sebuah tulisan jika tak mampu di renungkan dan di implementasikan, maka
tulisan tersebut bak sampah yang hanya memperbanyak kertas-kertas di bumi ini
namun begitu berharganya kertas ini jika isinya mampu menjadi sumber ilmu yang
bermanfaat bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar