IPPS

IPPS
SC

Rabu, 17 Desember 2014

TEKHNOLOGI : SEBUAH ENTITAS BARU



Tekhnologi dalam entitas sosial
Pernahkah anda memperhatikan di sekeliling anda bagaimana makhluk bernama manusia di abad dua puluh satu ini berinteraksi terhadap sesamanya di dalam habitatnya? Pernahkah anda berkumpul bersama teman-teman ataukah keluarga  anda sembari memperhatikan pola tingkah laku kerabat dekat anda? Coba tebak! Kerabat anda sedang bercengkerama dengan memainkan benda mati dengan aneka ragam bentuk dan varian namun mampu menyedot seluruh perhatiannya dari lingkungan di sekitarnya seolah-olah dia di tarik masuk ke dunia aneh ataukah seolah-olah bak kesurupan memainkannya sambil tertawa sendiri, marah, cemberut, senang, bahagia, dan lain-lain. Atau jangan-jangan andalah bagian dari manusia itu?.

Itulah fenomena abad ke dua puluh satu di mana kehidupan manusia telah di kuasai oleh media bernama gadget. Bayangkan anda bisa melihat dunia tanpa bepergian ke mana-mana bahkan tak perlu dengan bantuan pintu ajaib doraemon sekalipun anda sudah dapat melihat apa yang terjadi di belahan dunia lain. Mendengarkan musik tanpa membeli kaset bahkan lagu-lagu nya sudah ready stock untuk di download lewat gadget anda. Menonton video atau film tanpa mengeluarkan tenaga untuk memutar tv ataukah pergi ke bioskop, bertemu dengan kerabat lewat video call atau bercanda ria lewat sosmed (social media) tanpa perlu keluar rumah ataupun merasa lelah bepergian bahkan belanja pun sudah dapat anda lakukan tanpa pergi mencari barang di toko. Semua sudah tersedia di gadget anda. Hebat bukan! Hidup kita telah di mudahkan oleh benda mungil tersebut yang bahkan dinamakan smartphone yang juga berarti telephon pintar. Begitu pintarnya sehingga sang gandget pun sangat mengerti dengan kebutuhan manusia.

Begitu cepatnya perkembangan tekhnologi yang sangat dinamis sehingga tekhnologi pun begitu tercipta dan hadir di tengah-tengah kita langsung dengan begitu cepatnya sang tekhnologi berintegrasi dengan seluruh aspek-aspek kehidupan manusia. Dengan tekhnologi semuanya menjadi simple, terarah, fleksibel, inovatif, dan pragmatis. Bisa anda bayangkan dengan smartphone anda dapat berinteraksi social lewat dunia maya tanpa perlu lagi menelfon atau hanya sekedar mengirim sms. Di dunia medis semisal kedokteran dan farmasi tekhnologi menjadi standar utama kualitas dari keberhasilan dunia medis. Tekhnologi dalam dunia kedokteran yang menjadi barometer kuat sebuah kesuksesan dalam kegiatan pengobatan, semisal operasi, rontgen, memeriksa tekanan darah, memeriksa kadar gula darah, kolesterol, memeriksa adanya penyakit atau virus di dalam darah, dan lain-lain. Di dunia farmasi kita telah mampu menciptakan bahan-bahan kimia menjadi obat-obatan penyembuh manusia bahkan ramuan-ramuan herbal dari tumbuh-tumbuhan pun dapat di sulap menjadi supplemen-supplemen penunjang kesehatan sehingga bagi yang tidak menyukai minuman herbal yang pahit sekalipun tentu sudah dapat mengonsumsi ramuan herbal yang telah diproduksi dalam bentuk yang lebih praktis dan sederhana.

Di dunia ekonomi tekhnologi menjadi acuan bisnis yang progresif, misalnya alat penghitung uang yang dapat menghitung uang milyaran hanya dalam sekian detik, mesin ATM di setiap sudut jalan yang memudahkan siapa saja untuk mengambil uang kapan pun dan dimanapun tanpa mengenal waktu, berdagang via online misalnya transaksi jual-beli barang lewat situs internet (via BBM, facebook, instagram, twitter) dan lain-lain.

Di dunia pendidikan tekhnologi telah menjadi alternatife baru dalam proses pembelajaran, ketika dahulu batu menjadi alat media pendidikan, bertansformasi menjadi papan tulis, kini transformasi itu berada di tangan sang tekhnologi bernama layar LCD dan proyektor. Bahkan gadget pun kini telah bertransformasi untuk dapat memberikan fasilitas pengganti buku sebagai alat tulis-menulis.

Di dunia administrasi tekhnologi menjadi kekuatan elementer yang mampu mensistematiskan, mengintegrasikan, memudahkan setiap aspek dari kegiatan-kegiatan keadministrasian baik bagi pelayanan administrasi oleh Negara maupun oleh swasta terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Boleh dikata tekhnologi menjadi kulminasi dari kemajuan peradaban sebuah bangsa.
Bagitu banyak peran dari tekhnologi sehingga tekhnologi telah menjadi sebuah system baru, menjadi sebuah entitas baru, dan menjadi sebuah makhluk baru yang sifatnya artifisial dengan habitat sebagai simbiosis mutualisme bagi manusia. Dia tidak dapat hidup tanpa kuasa manusia dan manusia tak dapat menghidupi diri tanpa bantuan darinya.

Sedikit menyinggung teori dari sang empu dari sosiologi, Auguste Comte bahwa ketika manusia berada pada titik stabilitas sosial, maka tekhnologi berada pada titik dinamisme sosial. Tekhnologi menjadi endemi baru dalam tatanan makhluk hidup. dia bahkan telah berintegrasi dengan ranah sosial dan menjadi bagian dari entitas sosial sebuah bangsa. Tekhnologi tiap saat berkembang, dia berkembang sangat cepatnya dibandingkan perkembangan manusia. meskipun yang menciptakannya adalah manusia tetapi hanya sepersekian dari milyaran penduduk dunia yang mampu menciptakan tekhnologi, bahkan jika satu orang telah menciptakan sebuah tekhnologi baru atau hanya sekedar mengupgredisasikan sebuah tekhnologi baru maka hanya dalam tempo yang singkat tekhnologi itu telah berkembang biak dalam jumlah yang banyak yang bisa saja mengalahkan jumlah populasi manusia di seluruh dunia ini.  Boleh dibilang tekhnologi menjadi sebuah premis baru yang sifatnya kausal dengan kehidupan manusia bahwa semakin maju tekhnologi maka manusia juga adalah bagian dari kemajuan.

Jika ada yang bertanya manakah yang lebih pintar, sebuah komputer super canggih dengan akses internet yang cepat ataukah manusia? ada yang menjawab komputer karena dia mampu menjawab semua pertanyaan dari lintas multidisipliner yang bagi manusia sangat mustahil untuk menguasai segala aspek multidisipliner. Tetapi ada juga yang menjawab manusia lah yang lebih cerdas karena manusia merupakan penciptanya, jika yang diciptakan begitu cerdas maka pastilah penciptanya lah yang cerdas karena telah mencerdaskan tekhnologi. Jika di perhatikan secara seksama pertanyaan ini hampir sama dengan pertanyaan mana yang duluan lahir, ayam ataukah telur?

Tekhnologi merupakan ruang baru yang sifatnya digital dalam ruang-ruang sosial. Bisa dibilang tekhnologi adalah pengejewantahan dari perkembangan sosial masyarakat di dunia. Tekhnologi tercipta sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia, semisal matematika, fisika, kimia, biologi, dan lain-lain.tekhnologi hadir sebagai hasil kristalisasi dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Komputer dan laptop hadir sebagai kristalisasi dari ilmu matematika dan fisika. Alat-alat kedokteran hadir sebagai trnaformasi dari ilmu-ilmu kedokteran. Obata-obatan modern tercipta sebagai hasil dari progresifitas ilmu farmasi, social media hadir sebagai kristalisasi dari hubungan interaksi sosial dalam bentuk digital yang tercermin dalam ilmu sosiologi, situs jual beli online hadir untuk menciptakan ruang-ruang baru bagi pertumbuhan dunia ekonomi, dan masih banyak lagi yang jika dituliskan di tulisan ini maka akan memuat ratusan halaman yang begitu membingungkan. Yang pasti tekhnologi sebagai wujud kristalisasi factual dari ilmu pengetahuan.

Pernahkah anda menonton film Robocop? Film bergenre science fiction (fiksi ilmiah) itu bercerita tentang polisi berbentuk robot yang didesain dalam sebuah perintah digital untuk menangkap para penjahat. Ataukah robot dalam film star wars yang kemampuannya menyimpan memori dari sebuah rekaman visual terhadap sebuah aktivitas manusia. Bisa anda bayangkan jika suatu saat robot telah menggantikan aktivitas manusia itu. Jika tekhnologi sebegitu cepatnya berkembang dalam pola yang sosial dinamis, maka tak dapat dipungkiri suatu saat ketika robot telah diciptakan menyerupai wujud dan kepintaran manusia, maka robot akan menjadi pengganti dari aktivitas-aktivitas sosial baru, menjadi tumpuan baru dari tegaknya roda perekonomian, politik, sosial dan budaya, serta menjadi hukum yang baru yang berintegrasi dengan manusia. namun apakah robot dapat bergerak dalam roda interaksi sosial layaknya manusia? jika dalam film itu bisa jadi tapi dalam kehidupan nyata, wallahu a’lam.

Dari berbagai hal kita bisa simpulkan bahwa tekhnologi merupakan produk yang sifatnya urgent dan utilitas bagi sendi kehidupan manusia. dia layaknya sahabat yang menemani dalam ruang sosial serta menjadi alat pembantu kebutuhan dan pekerjaan kita sehari-hari. Namun tidak selamanya tekhnologi bermanfaat bagi kehidupan. Kita sudah tahu bahwa tekhnologi merupakan hasil kristalisasi dari ilmu pengetahuan toh ilmu pengetahuan juga memiliki dampak yang buruk bagi ummat manusia. tengoklah perang dunia kesatu dan kedua yang merupakan hasil buruk dan mengerikan dari lahirnya tekhnologi. Bayangkan tekhnologi menghancurkan jutaan ummat manusia pada saat itu. Bom atom, senjata api, pesawat tempur, kapala tempur, tank, dan lain-lain adalah hasil dari kengerian dari ilmu pengetahuan. Tetapi sebenarnya hal tersebut tidaklah merugikan, dia diciptakan sebagai basis pertahanan dan ketahanan dari suatu Negara. Yang mengerikan bukanlah tekhnologi, bukan pula ilmu pengetahuan tetapi yang mengerikan adalah manusia itu sendiri. Manusia yang mengembangkan ilmu pengetahuan, manusia pula lah yang menciptakan tekhnologi hingga ke taraf yang berbahaya, maka manusialah yang ditakuti. Keinginan untuk berkuasa, nafsu duniawi, hasrat akan kekuatan, egoisme kelompok, egoisme antar bangsa telah memicu hadirnya peperangan yang mengorbankan jutaan penduduk dunia. Tekhnologi menjadi ladang eksploitasi untuk kebutuhan sumber daya kekuasaan dan kekuatan manusia. semua karena manusia tidak memilih agama sebagai role model perjuangan dan pengintegrasian stabilitas sosial, semua karena telah dikuasi oleh nafsu-nafsu tak terkendali itu. Moralitas di gantung di tiang gantungan, kekuasaan disandarkan dalam tiang kebanggaan. Doktrinasi meluas dan melanda bak endemic virus-virus baru. 

Jika kita membaca dalam lintas sejarah di masa lalu, hal yang menjadi pemicu lahirnya tekhnologi ialah hadirnya dua revolusi besar abad 18 yaitu Revolusi Industri. Ketika James Watt menemukan mesin uap yang menjadi cikal bakal tumbuh kembangnya tekhnologi dengan pesat, hal itu didorong pula dengan tumbuh kembangnya aliran-aliran pemicu perang yang pada akhirnya menjadikan tekhnologi sebagai sarana genosida. Munculnya tekhnologi berbanding lurus dengan hadirnya hegemoni-hegemoni kekuasaan di Negara-negara Eropa. Sehingga tekhnologi seolah-olah diciptakan sebagai pemuas hegemoni kekuasaan.

Tekhnologi hanyalah menjadi alat pemuas nafsu kesetanan manusia itu sendiri. Sehingga perlulah dibuat regulasi dan dijadikan pedoman bagi tiap-tiap ilmuan yang menciptakan tekhnologi bahwa apa yang menjadi filosofi lahirnya tekhnologi tersebut?. Apa yang menjadi skema aksiologi bagi lahirnya sebuah tekhnologi bagi ummat manusia?. bisa dibilang tekhnologi di ciptakan haruslah menjadi patokan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi ummat manusia. dia harus memiliki landasan filosofis serta landasan sosiologis bagi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa agar jelas patokan arah eksistensinya bagi kehidupan manusia yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat di dunia.

Jumat, 28 November 2014

MENYAPA SENJA

Surya bergerak tergelincir dengan senyuman..
hangat menyapa dalam pelukan..
Langkah-langkah beriringan memujanya..
berbondong-bondong mengagumi rupanya..

Empat mata menatap senja..
Saat dua hati di mabuk cinta..
patutlah kita menjadi keluarga..
Mereka yang disebut keluarga cemara..

Kepulan asap dikepulkan..
ditujukan ke haribaan sang surya..
kepulan-kepulan berbentuk lingkaran..
menjadi pigura bagi sang surya..

Sang surya hadir di setiap suasana kalbu..
Teman alam bagi sang kalbu..
Terbitnya menyejukkan kebahagiaan..
Tenggelamnya menentramkan kesedihan..

Maka siapa pula yang tak suka sang surya..
Kewarasan seolah jadi tolak ukur..
Mengukur hati-hati manusia..
Bagi mereka yang senang terpekur..

Sapalah dia..
Nikmatilah kesejukannya saat pagi datang..
Peluklah dia..
Resapilah kehangatannya saat malam menjelang..





MALAM KELABU

Ohh Malam yang kelabu..
saat ikrar kedua tangan menyatu..
duduk bermandikan kelabu..
menyapas semilir angiin berhembus..
di belai-belai sambil membasuh..

Ohh Malam yang kelabu..

saat dua pasang kaki telanjang mengelus..
menyentuh guratan pasir yang halus..
membuncah bermain-main saat ombak berseru-seru..
seolah ingin menggapai sepasang kaki yang sendu..

Ohh Malam yang kelabu..

anginmu menggoncangkan tubuh-tubuh sendu..
menyapa sepasang manusia yang beradu..
seolah-olah menentramkan kalbu..
bersama-sama pasir dan ombak sebagai kawanmu..
menyanyikan lagu alam yang sendu..
atau malah lagu alam yang merdu..
dan penuh dengan merindu..

Ohh Malam yang kelabu

Minggu, 23 November 2014

KETIKA PANDAWA DAN KURAWA DALAM KEKUASAAN LEGISLATIF BERDAMAI


Setelah beberapa bulan yang lalu pesta demokrasi telah usai, kini para pemegang kekuasaan baik eksekutif maupun legislative telah berganti baju dengan pakaian yang baru. Ramai-ramai para pemegang tampuk kekuasaan pun tancap gas menetapkan dan mengejar target membangun Negara ke arah Negara kesejahteraan (welfare state) yang di cita-citakan. 
Namun ketika kekuasaan eksekutif dengan mesin yang baru sudah melangkah berkilo-kilo mil dengan kecepatan penuh demi target yang tinggi yang telah di usung, justru kekuasaan legislative tertatih-tatih, tergeletak, tertinggal jauh dari partner kekuasaan negaranya tersebut yang bahkan program-programnya satu persatu telah mulai terealisasi dan teraplikasi secara sektoral. Bak dua buah kendaraan baru yang berada di dalam jalur tol (baca: masa transisi) yang wajib untuk segera keluar dari jalur tersebut menuju jalan-jalan utama (baca: program-program) sebagai wilayah kerja masing-masing. Jika kekuasaan eksekutif dengan mesin barunya telah keluar dari jalur tol tersebut yang bahkan telah menikmati jalan-jalan utama, justru kekuasaan legislative dengan mesin barunya malah diam di tempat tak mampu bergerak dan tertinggal jauh hanya demi mengurusi mesin barunya yang justru bermasalah. Jangankan keluar dari jalur tersebut atau hanya untuk sekedar melewati loket pembayaran, memanasi mesinnya pun masih sangat susah.
Perebutan Kekuasaan
Saya masih ingat kata-kata tukang becak di pinggir jalan, sebut saja namanya Bejo. Ia menyebut anggota DPR layaknya anak kecil yang berkelahi demi memperebutkan sebungkus permen yang manis. Sambil tersenyum-senyum dalam hati saya pun mengiyakan sembari menayamakan permen yang manis itu merupakan pucuk kekuasaan yang sangat manis bagaikan gula yang berbondong-bondong di hinggapi semut bedanya semut bekerja sama dengan para anggotanya demi satu tujuan sedangkan mereka para anggota dewan yang terhormat (DPR RI) malah saling makan demi tujuan koalisi, bukan rakyat. Nah dari pernyataan Bejo tersebut sekaligus mewakili jutaan Bejo-Bejo kecil di tanah air termasuk saya.
Perebutan kekuasaan menjadi trending topic di awal masa periode baru kepengurusan anggota DPR RI yang baru. Entah itu prestasi sebagai lembaga tinggi, ataukah demi prestise berdasarkan koalisi.saling tuding-menuding, hujat-menghujat bak perseteruan Pandawa dan Kurawa dalam kisah epic Mahabharata atau bahkan layaknya kisah dua orang kakak beradik kembar yang sibuk berebut ingin mendapatkan status siapa yang berhak menjadi kepala keluarga. Hingga akhirnya saya pun berkata dengan nada sinis, “ Luar biasa, betapa berbudaya dan beradabnya mereka numpang duduk di kursi terhormat itu”. Puji diriku dengan penuh sarkas. Jika air di gunung dan minyak di lautan dapat bersatu dan bertemu di tempayan yang menghasilkan cita rasa luar biasa, lalu bagaimana dengan dua koalisi tersebut? Bukankah perbedaan itu indah?. Akhirnya kita sepakat dengan tagline salah satu iklan, “air dan minyak beda tapi bisa berdampingan”. KMP dan KIH beda tapi bolehlah berdampingan wong itu kehendak rakyat kok. Lagi-lagi perbedaan menjadi postulat utama dimana demokrasi di tanah air menjadi titik bifurkasi lahirnya paradox. Di satu sisi ada yang berpendapat demokrasi kita sedang di uji, tapi di sisi lain malah banyak berkomentar demokrasi kita bakal teruji.
Dua koalisi yang menjadi actor-aktor pertarungan politik di dua kompetisi elit kekuasaan tersebut, entah mana yang mendapat peran antagonis dan siapa bergelar protagonist ataukah malah dua-duanya mengklaim sebagai protagonist. Akhirnya rakyat hanya disuguhi pertunjukan wayang berjas dan berdasi itu.
Gonjang – Ganjing UU MD3 
Banyak jalan menuju Roma, ungkapan itu seolah ditujukan ke koalisi Merah Putih (KMP) oleh segelintir orang. Kalah telak di kompetisi elit bernama eksekutif lalu menang mutlak di tampuk podium legislative. Bahkan kemenangan KMP sudah disinyalir tatkala UU MD3 sukses di goalkan oleh punggawanya. Apa yang salah? Bukankah itulah tugasnya memproduksi aplikasi bernama undang-undang?. Disinilah awal mula duri yang menusuk hingga semakin merasuk kesakitan bagi koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sebagai sang jawara kekuasaan eksekutif, duri bernama UU MD3 itu di rasa sebagai penekan dan penghambat jalannya kekuasaan eksekutif. Hal ini semakin diperkuat mengingat jalannya pengabsahannya yang terbilang terburu-buru bahkan dipaksakan tatkala laju suara rakyat malah berpihak pada kontestan lawan. KMP berdalih justru ini merupakan terobosan baru yang futuristik demi memperkokoh fungsi checks and balances dari rumus kekuasaan ciptaan Montesqieu tersebut.
Jika dianalisa memang benar kemenangan KMP di DPR di tambah reinkarnasi dari UU MD3 bakal memperkokoh fungsi checks and balances namun ibarat mesin jika terlalu berlebihan maka justru bakal merusak. Inilah rupa dari UU MD3 itu. Hal inti yang menjadi titik permasalahan ialah terlalu besarnya porsi hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh DPR. Seolah-olah tiap kesalahan atau kebijakan yang dibuat pemerintah yang tidak sesuai dengan hasrat DPR maka DPR dapat serta merta menggunakan 3 hak bantu nya untuk merekonstruksi kebijakan tersebut. 
Pertemuan pun digalakkan demi mencapai islah. Bagi-bagi kue (baca kursi) jilid II pun tak terelakkan. Pasal demi pasal turut menjadi barang yang didiskusikan dan diperdebatkan untuk di hapuskan demi mencapai titik temu. Meskipun demikian bak gayung bersambut, pasal-pasal yang bersifat mengulang (redundant) seperti pasal 74 ayat (3) ayat (4) ayat (5) dan ayat (6) dan Pasal 98 ayat (7) ayat (8) dan ayat (9) bakal di hapus sesuai kesepakatan. Entah ini menjadi sebuah keberhasilan ataukah malah berhasil dalam kegagalan.

selengkapnya berikut pasal-pasal yang akan di hapus berdasarkan kesepakatan :

Pasal 74

(1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memberikan rekomendasi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia kerja, rapat tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara

(‎2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


3) Setiap pejabat negara atau pejabat pemerintah yang mengabaikan rekomendasi DPR, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan.

(4) Dalam hal pejabat negara atau pejabat pemerintah mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan.

(5) DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara atau pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan atau mengabaikan rekomendasi DPR.

(6) Dalam hal badan hukum atau warga negara mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DPR dapat meminta kepada instansi yang berwenang untuk dikenai sanksi.

Pasal 98

(7) Dalam hal pejabat negara dan pejabat pemerintah tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6), komisi dapat menysulkan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota mengajukan pertanyaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8) DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara dan pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Adapun ayat (6) yang terkait dengan pasal 98 ayat 7 dan 8 berbunyi:

(6) Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh Pemerintah. 


Antibodi Hak imunitas penangkal si obat KPK


ibarat sebuah penyakit pasti ada obatnya namun tahukah kita jika virus-virus pun memiliki kemampuan regenerasi hingga menciptakan virus-virus baru? tengoklah virus-virus modern seperti SARS, HIV/AID, Antraks, hingga Ebola yang bermunculan secara mendadak menandakan awal baru modernisasi virus-virus tersebut. maka virus pun tidak kalah hebatnya dengan otak manusia bahkan lebih cerdas dan berhasil merepotkan manusia. lihatlah AIDS dan Ebola yang hingga kini belum ditemukan penangkalnya, begitu pula virus-virus di dunia pemerintahan. jika korupsi merupakan virus yang mengalir di sendi-sendi pemerintahan layaknya jaringan pembuluh darah, maka begitu pulalah kekuasaan. Bukan berarti kekuasaan itu virus, kekuasaan ibarat tubuh yang di dalamnya terdapat jaringan-jaringan pembuluh darah tempat mengalirnya virus di dalam darah. Oknum-oknum yang mewabahinya dengan kreasi-kreasi yang kontraproduktif dengan tujuan pemerintahan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah virus-virus kekuasaan yang hingga kini menyebar tak karuan. namun ketika penangkal bernama KPK berhasil ditemukan, maka virus-virus pun bakal meregenerasi lagi dengan lebih canggih.  

Jika di analisa UU MD3 terdapat hak yang dapat merangsang bahkan memproteksi virus-virus kekuasaan. munculnya hak imunitas bukan berarti bakal memproteksi jalannya kekuasaan legislatif dari pengaruh-pengaruh yang kontraproduktif dengan tupoksi DPR tetapi juga sekaligus memproteksi suburnya endemi virus-virus kekuasaan di tubuh lembaga rakyat itu. sekali mendayung dua, tiga pulau terlampaui. entah ini disadari atau tidak oleh wakil rakyat itu atau malah pura-pura menutup mata tak melihat lalu lanjutkan pekerjaan seolah tak terjadi apa-apa. mengenai hak imunitas DPR yang begitu kebal dengan hukum berdasarkan pasal 224 UU MD3. Hal ini justru bertolak belakang dengan azas persamaan di depan hukum (equality before the law) yang justru mengkerdilkan peranan penegak hukum sperti KPK. bisa dibilang UU MD3 diciptakan layaknya antibodi yang berhasil di buat untuk menangkal obat yang bernama KPK. 

Akhirnya sebuah babak baru...



Meskipun hanya beberapa poin saja yang berhasil di sepakati namun tidak menghapus inti dari islah ialah demi bersatumya air dan minyak, demi berdamainya pandawa dan kurawa agar kekuasaan legislative dapat kembali ngebut bekerja mengejar ketertinggalannya mengingat PR baru bagi DPR begitu banyak dan masih banyak RUU penting yang harus diseleseikan ketimbang hanya sibuk mempertahankan status quo. Maka yang bakal menjadi bensin bagi jalannya kendaraan DPR ialah revisi UU MD3 serta olinya ialah mengesahkan secepatnya komisi-komisi sesuai kesepakatan bersama. Jika tidak maka lihatlah seperti Ibu Menteri ESDM Rini Soemarno yang bahkan tak sudi rapat dengan DPR dengan alasan kelengkapan DPR belumlah resmi legalitasnya. Bisa jadi sang ibu Menteri menjadi yang pertama dari sekian menteri-menteri Jokowi yang bakal berpaling jika masalah internal DPR belum selesai. Ibaratnya ngurusin rumah tangganya saja ngga becus malah sok-sok mau ngurus rumah tangga rakyat Indonesia.

Babak baru pun dimulai. Kesepakatan telah diteken, walhasil lembaran baru siap terisi, wartawan silih berganti menatap di balik potret-potret kamera. Ribuan kertas produksi perusahaan Koran pun siap menampung cerita baru dari kisah dua pandawa ini. Saat mereka yang disebut para pakar, entah pakar hukum, pakar politik, pakar ekonomi atau bahkan pakar-pakar dadakan lainnya  yang bahkan lebih pantas disebut peramal modern ini mulai meramal keberlangsungan dua saudara ini dengan begitu gagah dan hebatnya dihadapan sorotan kamera sontak opini mulai bergulir, diskusi jadi makanan ringan sehari-hari namun tetap tak mengubah sikap dari dua saudara yang sedang menjadi aktor politik itu. Babak baru di mulai bukan karena bakal hadirnya kualitas produk undang-undang yang bakal dihasilkan, bukan pula menciptakan kualitas politik hukum yang pro rakyat tetapi babak baru tersebut bernama perseteruan baru, yaitu Interpelasi oleh KMP kepada pemerintah dengan judul baru “Mengapa BBM Naik”???.

Rabu, 07 Mei 2014

Hukum yang Tertulis Vs Hukum yang Teraplikasi



Tulisan ini dibuat oleh sahabat saya Ayyub Saputra Kadriah, S.H.

- UNDANG UNDANG SEBAGAI HUKUM TERTULIS

 H.L.A.Hart, membedakan arti dari “positivisme” seperti yang banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yakni:  anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia; [1]
Dan tori ini masih dipakai dalam masa modern sekarang ini dan ditegaskan bahwa hukum sebagai kerangka kehidupan sosial ini harus dibuat modern pula
apabila kita ingin membentuk masyarakat Indonesia yang modern?[2]. Modernisasi di sini pada pokoknya dapat ditempuh melalui dua jalan:

1. Dengan mengembangkan konsepsi-konsepsi serta lembaga-lembaga
tradisional sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat dewasa ini; dan
2. Dengan melakukan pengoperan hukum dari negara lain.[3].

Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, bahwa “hukum sebagaimana
diterima dan dijalankan di negara-negara di dunia sekarang ini, pada
umumnya termasuk ke dalam kategori hukum yang modern.”[4]. Hukum modern memiliki ciri: (1) bentuknya yang tertulis, (2) berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan (3) sebagai instrumen yang secara sadar dipakai untuk

mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.[5].  
Perlu juga diketahui bahwa undang – undang ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hokum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh pengasa Negara, menurut BUYS undang undang dibedakan menjadi dia arti :
  1. Dalam arti formil adalah setuap keputusan pemerintah yang memerlukan Undang – undang karena cara pembuatannya ( dibuat oleh parlemen dan pemerintah)
  2. Dlam arti materil bahwa  undang - undang adalah setiap peraturan pemerintah yang isinya mengikat langsung penduduk
Dan memiliki syarat formil untuk diundangkan dalam lembar Negara yang berlaku 30(tiga puluh) hari setelah di undangkan untuk jawa Madura serta 100(seratus) hari untuk daerah diluar jawa Madura, dan setelah itu dianggap semua orang dianggap tahu akan undang – undang tersebut [6].
Di Indonesia sendiri undang – undang dikenali sebagai salah satu bentuk peraturan perundangan untuk melaksanakan undang – undang dasar dinamakan undang – undang organik. [7].

dan sebagai perintah manusia undang – undang tersebut dibuat oleh orang – orang yang diberi hak untuk memerintah manusia lainnya, dengan kata lain undang - undang adalah sebuah alat yang digunakan untuk mempermudah kehidupan manusia, sama seperti mobil, motor dan banyak lagi alat – alat yang lain digunakan manusia untuk mempermudahnya bedanya undang undang bukan berbentuk benda tetapi sekumpulan pasal – pasal yang berisi aturan tata hidup masyarakat, lalu kalau kita membicarakan undang – undang kita selalu seolah – olah sedang membicarakan hukum, pertanyaan mendasarnya apakah undang undang itu adalah hukum?,

 jawabannya dapat juga kita lihat, dalam Teori Lon Fuller yang  menekankan pada isi hukum positif harus dipenuhi delapan persyaratan moral tertentu antara lain:

a. Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. Perlunya sifat tentang persyaratan sifat keumuman, artinya memberikan bentuk hukum kepada otoritas berarti bahwa keputusan-keputusan otoritatif tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum;

b. Aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan
melainkan harus diumumkan. Seringkali otoritas-otoritas cenderung untuk tidak mengumumkan aturan-aturan dengan tujuan mencegah orang mendasarkan klaim-klaimnya atas aturan-aturan tersebut, sehingga aturan-aturan tadi mengikat otoritas-otoritasnya sendiri;

c. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan
di kemudian hari, artinya, hukum tidak boleh berlaku surut;

d. Hukum harus dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat dimengerti oleh
rakyat;

e. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;

f. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan
pihak-pihak yang terkena, artinya hukum tidak boleh memerintahkan
sesuatu yang tidak mungkin dilakukan;

g. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah sewaktuwaktu;

h. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan
dengan pelaksanaan kenyataannya [8].
  
Juga dalam teori hukum dari beberapa pakar  dipaparkan definisi hokum:
O. Notohamidjojo.
Keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat Negara antarnegara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat.[9]

C.J.T simorangkir .SH
Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tersebut mengakibatkan diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu [10].
Dan dari teori lon fuller O.Noto hamidjojo dan J.C.T. Simorangkir. SH. tersebut dapat dikatan bahwa secara positifistik undang – undang yang memuat aturan – aturan  adalah hokum debgan bentuk yang modern, berbentuk tertulis, karena (Wet)undang – undang telah memenuhi syarat sebagai hokum tertulis sesuai dengan pernyataan pakar – pakar tersebut.



-         MASALAH APLIKASI UNDANG – UNDANG
Merupakan kurun waktu yang cukup lama untuk membuat bangsa Indonesia terbiasa dengan sistem hukum tertulis, sebagai akibat dari pengaruh sistem hukum sipil (Eropa Kontinental) yang dianutnya selama berabad-abad.[11].

Pertanyaan selanjutnya yang muncul dalam benak kita apakah hokum yang tertulis dalam undang – undang tersebut telah teraplikasi secara nyata dalam kehidupan sehari hari masyarakat Indonesia.?
 Penulis mencoba meninjau hal tersebut menggunakan kacamata sosiologi, hokum,Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu, akan “melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat, tidak di luar itu [12].

.  “Sosiologi hukum adalah ilmu empiris, yang melihat pengalaman-pengalaman nyata dari orang-orang yang terlihat  ke dalam dunia hukum, baik sebagai pengambil keputusan, sebagai praktisi hukum, maupun sebagai warga negara biasa. Sosiologi hukum adalah juga ilmu yang deskriptif, eksplanasitoris dan membuat prediksi-prediksi” [13]

Dan dengan melihat hokum sebagai bagian dari prilaku sosial masyarakat kita dapat melihat banyaknya prilaku – prilaku masyarakat yang sangat bersebrangan denagn aturan  perundang – undangan yang ada, dan hokum tertulis tersebut  belum mampu mengajak masyarakat untuk tunduk dan patuh terhadapnya sebahagian besar diakibatkan masyarakat yang merasa bahwa aturan yang berlaku tidak cukup adil bagi mereka,  karena pengaplikasiannya oleh aparatur Negara  yang terlalu formalistic dan berbelit - belit sehingga membuat masyarakat bahkan aparatur hokum sendiri  merasa lebih nyaman melanggarnya ketimbang mematuhinya

 Hal ini mengingatkan penulis kepada salah satu pola pemikiran hokum yang berkembang di jerman, Interessenjurisprudenz  tegas-tegas menolak pertimbangan yuridis yang legalistik yang dilakukan secara pasang-jarak dan in abstracto. Ia tidak memulai pemeriksaan dari bangunan peraturan secara hitam-putih, melainkan dari konteks dan kasus khusus di luar narasi tekstual aturan itu sendiri. Sebab keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis-formal. Keadilan justru diperoleh lewat intuisi. Karenanya, argumen-argumen logisformal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridisformal keputusan yang diyakini adil tersebut.[14]

jika hukum terus dibiarkan terus hidup dalam keterbatasannya yang hanya berputar putar pada pembangunan hokum tekstual seperti sekarang, maka pembangunan hukum juga akan berorientasi kepada pembangunan komponen-komponen hukum yang hanya berkaitan dengan system pembentukan norma atau penerapan norma itu, padahal dalam kenyataannya, penerapan hukum sebagai suatu norma tidaklah cukup hanya dengan melibatkan komponen-komponen yang bersangkutan dengan sistem norma saja.[15 ]

-         KEKALAHAN UDANG - UNDANG LALULINTAS SEBAGAI CONTOH
contoh kecil sehari – hari yang dapat kita lihat dijalan, dimana banyak masyarakat yang berkeliling kota tanpa menggunakan helm, tanpa menyalakan lampu motor di siang hari, atau yang dengan santainya melanggar lampu merah dan membahayakan pengendara lain, dan aparat kepolisian bukannya tinggal diam akan hal tersebut dan beberapa tertangkap tangan sedang melanggar lalulintas, namun sekali lagi hokum dilumpuhkan dengan dua puluh ribu rupiah.

Haltersebut tidak didamkan poleh sebagian orang, khususnya aparat kepolisian, lalu dibangun lah suatu system baru, dengan perundang undangan baru yang dendanya lebih besar dan menakutkan, namun hal tersebut sama sekali GAGAL, karena masyarakat masih saja menjalankan hokum yang mereka buat sendiri, dimana hokum tersebut tidak tertulis dalam lembar Negara, namun tertulis dikepala polisi dengan anekdot masyarakat bahwa kalau berhadapan  dengan polantas “ DAMAI ITU =INDAH Rp.20.000”

Anehnya lagi hukum tersebut teraplikasi tanpa penyebutan aturan “ DAMAI ITU = INDAH Rp.20.000” karena terjadi seperti sebagai suatu kebiasaan yang lumrah, polisi cukup terbatuk- batuk paksa, atau dengan menjelaskan pasal secara berbelit – belit sambil menahan pelanggar agar berlama – lama memberikan surat tilang kepada pengendara yang melanggar, agar pengendara tersebut mengerti hokum yang ingin diterapkan oleh polisi tersebut, dan massyarakatpun dengan santai menerima hukumannya karena, memang aturan lalulintas dan persidangannya sangat berbelit – belit sehingga pelanggar tidak peduli lagi dengan resiko penjara karana melakukan penyuapan terhadap aparat hukum

Dan hal ini  menimbulkan pertanyaan baru, bahwa yang manakah sebenarnya hokum yang berlaku dijalan, apakah “setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor tidak memiliki surat ijin mengemudi dipidana dengan kurungan empat bulan penjara atau denda paling banyak satujuta rupiah”ataukah  “ DAMAI ITU = INDAH Rp.20.000”

Masalah ini disebabkan oleh  teori-teori positivisme dengan metode analitisnya, sangat mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan, oleh karena teori tersebut direduksi menjadi jenis pengetahuan yang mempunyai objek kajian kasus tertentu dan diselesaikan secara ringkas dengan sekian pasal dalam teks hukum positif.[16]. Penafsiran berjalan secara amat pragmatik atau fungsional demi memecahkan kasus belaka, sehingga hukum perdata, dagang, pidana, dan semacamnya, hanya membentuk individu yang pandai menghafal pasal-pasal di luar kepala.[17]. yang implikasinya adalah undang – undang seolah didewakan dan tidak perlu di interpretasikan dan di konstruksikan lagi demi menjaga asas kepastian dalam hokum, dan membuat undang – undang itu sendiri menjadi semakin kering, dan seperti layaknya ternak di padang pasir, masyarakat yang kekeringan pun akan mencari oasis hukumnya sendiri dan kadang – kadang terjebak dalam fatamorgana hokum jalanan “ DAMAI ITU = INDAH Rp.20.000”
Kekalahan Undang – undang(Wet) terjadi seketika perbuatan(Hendeling) masyarakat telah meninggalkannya.

- APLIKASI HUKUM SEBAGAI PEMENANG PERANG
Melihat kenyataan bahwa peraturan perundang undangan khususnya laulintas telah mengalami berbagi perubahan namun masih saja lumpuh menghadapi masyarakat dan pelanggaranya maka dengan logika awam saja kita sudah dapat melihat kekalahan hokum tertulis, dalam hal ini undang – undang gagal mengatasi masalah maraknya kecelakaan lalu lintas khususnya karena tindakan pengendara itu sendiri,

maka untuk menyelesaikan maslah tersebut  maka kita perlu mengetahui masalah dari hokum tertulis yang bersifat positifistis  tersebut dimana pengeleloaanya terlalu didominasi oleh cara berfikir legalisme yang terlalu berpusat pada aturan, yang implikasinya perubahan hokum hanya senantiasa berharap kepada perubahan aturan saja, dimana setelah aturan dirubah dan Undang – undang telah diamandemen maka masalah dianggap telah terselesaikan dan masyarakat akan sertamerta menjalankannya lalu angka kecelakaan akan menurun, namun sayangnya hal tersebut tidak terjadi, karena hanya sedikit menakut nakuti masyarakat dan tidak merubah keadaan secara signifikan

untuk mengatasi kelumpuhan hokum tersebut, hukum progresif menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik. Kejujuran & ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggaraan hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakkan interpretasi secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan [18].

Sudah tentu, untuk mewujudkan pembaruan mendasar seperti ditawarkan hukum progresif itu, butuh sokongan kerangka keyakinan baru barupa sebuah model rujukan yang dapat memandu perubahan yang hendak dilakukan. Keperluan akan model/exemplar seperti itu didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, karena hukum progresif berusaha menolak keberadaan status quo – manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, status korup, dan semangat merugikan kepentingan rakyat. Kedua, dalam hukum progresif melekat semangat “perlawanan” dan “pemberontakan” untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para pelaku hukum. Ketiga, kehadiran sebuah eksemplar atau contoh/model, akan dapat menyatukan kekuatan-kekuatan hukum progresif pada satu platform aksi, karena exemplar selalu menyediakan tiga “perangkat lunak” yang dibutuhkan sebuah gerakan (movement): (1) Landasan ideologis atau filosofis yang mendasari gerakan yang diperjuangkan. (2) Masalah yang dianggap relevan dan penting untuk diperjuangkan dan dikerjakan, serta (3) Metode dan prosedur yang tepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah dimaksud [19].

namun untuk merubah  SDHM (sumberdaya hokum manusia) yang sudah ada cukum sulit karena mereka telah terpatri oleh system dan telah terdogma dengan kebiasaan – kebiasaan penyelewengan  yang amoral bahkan membahayakan nyawa oranglain tersebut, pilihan lainnya yang bisa diambil  adalah membangun SDHM baru dari titik dunia pendidikan dengan menanamkan pola – pola pemikiran progresif pada pemikiran cendikiawan hokum Indonesia sebagai calon aparatur hokum Negara, agar perubahan pada tingkat aparatur nantinya dapat tercapai dengan persiapan garda muda pembaharu hokum tersebut.

Tapi prlu diingan bahwa tidak mudah mempersiapkan SDHM di dunia pendidikan hokum saat ini dikarenakan, Paradigma pendidikan hukum di Indonesia, tampaknya masih didominasi oleh penggambaran mengenai kebenaran profesional daripada kebenaran ilmiah. Keadaan seperti itu tampaknya dipengaruhi oleh mapannya program pendidikan hukum untuk melayani kebutuhan profesi, yang diselenggarakan Fakultasfakultas Hukum. Selama ini out put dari Fakultas Hukum, hanya akan menghasilkan para yuris professional [20]

. yang berpandangan normatif, tidak mampu melihat kebenaran yang sesungguhnya, sehingga cenderung melihat hokum sebagai “rule and logic”, sebagai implikasinya gambar yang lengkap mengenai hukum menjadi cacat. Oleh karena itu, perlu ada “paradigm shift”, mengenai pendidikan hukum di Indonesia, yang cenderung positivistik, menuju pendidikan hukum dengan pemahaman holistik dengan dibantu ilmu lain, sehingga produknya tidak melihat hukum dengan model “kaca mata kuda”.

kalau kita melihat kepada salah satu pemikiran Jimly Asshiddiqie,  yang menulis: “Tidak boleh terjadi seorang calon sarjana hukum perdata tidak pernah mengunjungi pengadilan dan menyaksikan proses peradilan berlangsung. Juga tidak boleh terjadi calon seorang sarjana hukum tatanegara belum pernah berkunjung dan menyaksikan perdebatan mengenai RUU di Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian pula, telaah mengenai suatu ketentuan hukum tidak boleh hanya terpaku pada teks ketentuan perundang-undangan secara normatif, tetapi harus menelaah kasus-kasus berkenaan dengan perkara di pengadilan mengenai hal tersebut, seperti yang dipelajari dalam sistem Common Law”. [21],

 Saya rasa hal tersebut tidak ada salahnya namun terlalu kaku (strict) dan  perlu  diketahui bahwa,pendidikan tinggi hukum yang berpretensi “akademis universiter” atau“teoritis ilmiah”[22].  namun kurang menyentuh nurani para peserta didik, sehingga berakibat bekunya nurani mereka. Oleh karena itu, para peserta didik di fakultas-fakultas hukum di Indonesia ke depan jangan lagi hanya diarahkan untuk memiliki skills sebagai tukang menerapkan hukum positip tetapi kurang cerdas spiritual dan emosionalnya dalam memaknai persoalan bangsanya sendiri. Untuk itu maka, kurikulum fakultas hukum orientasinya tidak saja terbatas pada pengajaran profesional skills, tetapi harus meliputi juga etika dan moral profesional (professional ethics and moral), tanggung jawab profesional (professional responsibility), serta manajemen qalbu (spiritual management), Ketiga factor yang amat penting dalam pembentukan watak atau karakter setiap manusia itu jika secara kumulatif disatukan dalam penggemblengan kader-kader calon penegak hukum,[23]
Jika melihat fakultas – fakultas hokum dewasa ini telah banyak yang maju dan berkembang seperti Universitas Indonesia, Universitas diponegoro, dan masih banyak lagi Universitas lainnya yang telah maju dari segi pendidikan hukumnya, namun di belahan Indonesia lainnya masih banyak Universitas yang masih sangat jauh ketinggalan pola pendidikan hukumnya khususnya kebanyakan Universitas di dalam kota Makassar, namun hal tersebut menjadi tantangan bagi mahasiswa yang berada dalam Universitas tersebut, untuk bisa maju dengan usahanya sendiri, tentu maju dengan lebih progresif dan meretas semua keterbatasan serta mengatasi perang dingin antara hokum tertulis dan hokum yang teraplikasi, dengan pilihan alternative,

 KALAU KAMPUS TIDAK BISA MEMBERI PERUBAHAN MAKA KITA (mahasiswa) HARUS MEMPERBAHARUI SENDIRI.

Akhir kata.
MAJU TERUS TABRAK TEMBOK GARDA DEPAN PEMBAHARU HUKUM INDONESIA….!!


DAFTAR  ISI
[0] Ketua Ikatan Penggait Peradilan Semu UIN ALAUDDIN Makassar, dan Anggota Bidang Lapangan LKBH Permahi DPC. Makassar
[1] .  W.Friedmann, Legal Theory. New York: Columbia University Press, hal.256-257
[2] Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H,.  ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen). hal.14
.[3]Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat. Bandung: Alumni,
1977, h. 45-53
.[4] Lihat Satjipto Rahardjo, “Hukum dalam Perspektif Perkembangan”, dalam Ilmu HukumBandung: Alumni, 1986, hal. 178.
[5] Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H,. dalam ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen). hal.9
 [6]. pengertian dan tujuan hukum hal.14-15
[7] ibid
[8] lihat, Lon Fuller dalam The Morality of Law, Yale University Press, 1964,
[9] Monalia Sakwati, tugas mata kuliah pengantar ilmu hokum “definisi hukum menurut para ahli”, hal.2.
[10].ibid
[11] Lili Rasjidi, “Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional”, dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco, Bandung, 1995, hal.357.
[12]  Rahardjo, 2010
[13] ibid
[14] Dikutip dari Bernard L. Tanya, “Butuh Pelaku Hukum yang Kreatif”, Makalah pada Diskusi Bulanan Dosen FH-Ubhara, 10 Januari 2004, hal. 3.
[15] Lili Rasjidi, “Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional”,dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco, Bandung, 1995, hal.357.
[16] Anom Surya Putra, Manifestasi Hukum Kritis: “Teori Hukum Kritis, Dogmatika dan Praktik Hukum”, dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 6, Tahun II, 2000, hal.70.
[17] ibid
[18] Sudijono Sastroadmodjo,Konfigurasi Hukum Progresif , hal. 187
[19]ibid.
[20] Satjipto Rahardjo, “Perkembangan Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Kajian Hukum”,dalam Majalah Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional No.2, 1994, hal.5; Albert Hasibuan, “Pembinaan Profesi Hukum Dalam PJP II”, dalam Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, No.1 Tahun 1996, hal.104
[21]Lihat, Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal.114.
[22] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat…Op. Cit., hal. 26.

,[23] Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H,.  ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen). hal.14