1. Sistem
Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction
in Time & Conviction Raisonce)
Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim oleh Lilik Mulyadi dijelaskan bahwa hakim dapat menjatuhkan putusan
berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam
perkembangannya lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
mempunyai dua bentuk polarisasi, yaitu conviction
in time dan conviction raisonce. Dalam
hal ini ada dua macam pola pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang akan di
bahas satu persatu, yaitu :
1) Sistem
pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction
in time)
Melalui
sistem pembuktian conviction in time
kesalahan terdakwa hanya bergantung pada keyakinan hakim belaka sehingga hakim
tidak terikat oleh suatu peraturan. Dengan demikian putusan hakim di sini
tampak timbul nuansa subjektif.
Selanjutnya menurut M. Yahya Harahapdalam sistem
pembuktian convection in time
terdapat kelemahan, bahwa :
Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas
“dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya
hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun
kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap,
selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa... Seolah-olah sistem ini
menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata.
Keyakinan hakimlah yang menetukan wujud kebenaran sejati dalam sistem
pembuktian ini.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam sistem pembuktian
menurut keyakinan hakim melulu, sistem ini pernah di anut di Indonesia, yaitu
pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Dalam sistem ini sangat
memungkinkan kepada hakim untuk menyebut apa saja yang menjadi dasar
keyakinannya, misalnya keterangan-keterangan dari medium atau dukun.
Menurut Andi Hamzahpengadilan adat pada dasarnya dalam
memutus perkaranya memakai sistem keyakinan hakim melulu (convection in time) yang pada kenyataannya bahwa
pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli
(berpendidikan) hukum, melainkan hakim-hakim adat setempat.
2) Sistem
Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (conviction raisonce)
Dalam sistem conviction raisonce ini hampir sama dengan sistem conviction in time yaitu sama-sama
memakai keyakinan hakim dalam memutus salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi
dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi dengan harus
didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dan dapat diterima oleh akal
dalam mengambil keputusan.
Menurut Lilik
Mulyadi, pembuktian conviction in
raisonce hampir mirip dengan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang
secara negatif (negatief wettelijke
bewijs theorie).
2.
Sistem
Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Positif (positive wettelijke bewijstheorie)
Pada dasarnya sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif berkembang sejak Abad Pertengahan.
Pembuktian menurut undang-undang secara positif sangatlah bertolak belakang
dengan pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction in time). Dalam
sistem ini keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam pengambilan putusan.
Pembuktian ini hanya berpedoman pada alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut
undang-undang maka sudah cukup untuk untuk menentukan kesalahan terdakwa tanpa
melihat keyakinan hakim lagi. Meskipun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa
tidaklah bersalah namun jika alat-alat bukti telah terpenuhi untuk menyatakan
terdakwa bersalah, maka terdakwa tetap dinyatakan bersalah.
Dalam sistem pembuktian ini menurut Immanuel Kant,
hakim disamakan sebagai mulut undang-undang atau dalam rumusan Kant disebut la
bouche de la lois (hakim merupakan mulut undang-undang) yang tugasnya hanya melaksanakan perintah
undang-undang saja tanpa mengganggu gugat substansi dari undang-undang, bahkan
hakim harus menuruti secara harfiah apa kata undang-undang (qui les juges
suivent la lettre de la lois).
Undang-undang seolah-olah menjadi
patokan tertinggi dari rasa keadilan masyarakat, yang dicari hanyalah kepastian
undang-undang belaka tanpa melihat aspek keadilan, maupun hati nurani hakim
sebagai patokan keadilan dalam masyarakat. Sehingga penerapannya pun sangat
sulit untuk mencapai rasa keadilan masyarakat.
3. Sistem
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)
Sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang
secara positif dengan sistem pembuktian convection in time... Sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem
yang saling bertolak belakang secara ekstrem... menggabungkan ke dalam dirinya
secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif... Rumusannya berbunyi : salah tidaknya
seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Jadi ada dua komponen dalam sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yaitu
a. Pembuktian
dilakukan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
b.
Keyakinan
hakim yang didasarkan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
Meskipun menurut sistem pembuktian
ini terjadi keseimbangan antara alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
dengan keyakinan hakim tetapi secara implementasinya keyakinan hakim berada di
ambang klimaks dalam proses memutuskan salah atau tidaknya terdakwa.
MenurutR.
Subektibiarpun alat bukti di pakai hingga buktinya bertumpuk-tumpuk, namun
jikalau hakim “tidak berkeyakinan” tentang kesalahan terdakwa maka ia tidak
boleh menghukum terdakwa tersebut. Jadi dalam sistem ini yang pada akhirnya
menentukan nasib terdakwa adalah keyakinan hakim.
Hal inilah yang merupakan kelemahan dari
sistem ini, yaitu apabila melalui alat bukti telah cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa. Pembuktian tersebut dapat dieleminir jikalau tidak terdapat
keyakinan hakim. Hal ini bisa menimbulkan peradilan sesat, yaitu jikalau ada
permainan dari mafia-mafia hukum untuk mengendalikan kemandirian hakim dengan
uang, niscaya hakim pun dapat membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban
hukum dengan alasan hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa. Maka dalam
sistem pembuktian ini semua bergantung kepada profesionalisme hakim dan
kemandirian hakim di lapangan dalam memutus suatu perkara pidana.