People should
not be afraid of their governments. Governments should be afraid of their
people – V (V for Vendetta – 2015)
RUU KUHP yang kini tengah di godok
oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR RI telah memasuki babak baru dalam
pembentukannya. Berbagai masukan-masukan serta beberapa pasal-pasal yang tengah
masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tengah berlangsung. Presiden
Jokowi pun membenarkan bahwa sebaiknya pasal-pasal tentang penghinaan terhadap
presiden tetap di masukkan kembali sebagai bagian dari tindak pidana. Perlu di
runut bahwa bukan Presiden jokowi lah yang mengusulkan melainkan usulan
tersebut adalah warisan dari pemerintahan sebelumnya. Saat di wawancarai oleh
awak media, beliau menganggap bahwa Presiden merupakan bagian dari Simbol Negara
(Symbol of the State) merunut kepada banyak Negara yang menjadikan Presiden
sebagai Simbol Negara (Detik.com,
Agustus 2015). Pernyataan beliau memang ada benarnya mengingat sebagai kepala
pemerintahan menuntut fokus yang besar terhadap segala macam visi misi yang
sedang di jalankannya sekaligus memperkokoh fondasi politik nya sebagai kepala
Negara, namun hal tersebut akan menemui tembok yang kokoh baik dari segi
kategorisasi presiden sebagai simbol Negara maupun dari sisi sejarah, sosial,
hukum dan budaya masyarakat Indonesia memahami konteks penghinaan tersebut. (Selengkapnya isi pasal tersebut tercantum di
bagian akhir tulisan ini).
Menengok Putusan MK Tahun 2006
Penghinaan terhadap presiden merupakan bagian dari
pasal-pasal yang menyebarkan kebencian (haatzaai
artikelen) pernah eksis dalam KUHP Indonesia namun eksistensinya harus
berakhir dalam ketukan palu 9 Hakim Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Nomor
013-022/PUU-IV/2006. Jika di tengok kebelakan yang menjadi ratio legis para Hakim Konstitusi adalah pasal penghinaan terhadap
presiden merupakan warisan kolonial yang tidak sesuai dengan peradaban
demokrasi di Indonesia. Tujuan lahirnya aturan tersebut secara historis adalah
demi kepentingan Ratu Belanda saat menjajah Indonesia, artinya demi kepentingan
kolonial sehingga aturan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai peradaban
bangsa yang anti kolonialisme sesuai dengan amanat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
dan nilai-nilai bangsa yang tertuang sebagai konstitusi tidak tertulis. Konsekuensi
dari putusan MK menurut pakar Tata Negara Irmanputra
Sidin bahwa putusan MK adalah konstitusi yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Antara putusan MK dengan UUD NRI Tahun 1945 memiliki derajat yang
sama sehingga hukum yang tercipta dari putusan MK menjadi konstitusi yang tidak
dapat di ganggu gugat lagi mengingat putusan MK yang sifatnya final dan
mengikat.
Presiden adalah Simbol Negara, benarkah?
Seperti pernyataan Presiden Jokowi di atas bahwa
Negara-negara di dunia mengakui Kepala Negara sebagai bagian dari Simbol
Negara, bagaimana dengan di Indonesia? Irmanputra
Sidin menjelaskan bahwa simbol Negara di atur secara limitative dalam BAB
XV UUD NRI Tahun 1945 di mana pasal 35 sampai pasal 36B menyebutkan bendera
Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, Semboyan Bhinneka Tunggal
Ika, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai Simbol Negara. Kemudian lebih
lanjut di atur dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sedangkan presiden atau wakil presiden tidak
disebutkan dalam konstitusi sebagai bagian dari simbol Negara. Lebih lanjut
menurut Irmanputra Sidin bahwa
bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai sarana
pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol
kedaulatan dan kehormatan Negara sehingga tujuan pengaturannya untuk menjaga
kehormatan dan menegakkan kedaulatan bangsa dan NKRI. Maka penyalahgunaan
maupun tindak pidana terhadap simbol-simbol Negara termasuk dalam bagian dari
delik biasa bukan delik aduan seperti penghinaan pada umumnya. Sedangkan
presiden dan wakil presiden bisa berganti artinya mereka temporer tetapi
bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan tidak akan pernah
berganti.
Selain itu pakar komunikasi politik Effendi Ghazali mengemukakan tiga teori
tentang pemaknaan dari Symbol of the
State, yaitu
1. Bermakna
Lambang Negara, dalam hal ini Lambang Negara Indonesia secara jelas dalam konstitusi di atas adalah Garuda Pancasila,
sehingga presiden bukanlah lambang Negara;
2. Bermakna
Simbol, dalam hal ini jika presiden ialah simbol Negara maka seolah-olah akan
mengkultuskan presiden dalam tataran yang transendental karena simbol berarti
identitas suatu bangsa yang tak pernah pudar sifatnya sedangkan presiden
hanyalah jabatan yang sifatnya temporer yang secara kedudukan tidaklah berubah
namun sifat pemakaiannya dapat berubah tergantung dari siapa yang memegang
jabatan tersebut;
3. Bermakna
tanda, hal ini diibaratkan seperti rambu-rambu lalu lintas, tanda silang P
bermakna dilarang parker, tanda silang S bermakna dilarang berhenti sehingga
presiden bermakna kepala Negara atau kepala pemerintahan tergantung dari
kewenangan atributif yang di berikan oleh konstitusi;
Penghinaan dalam kajian Hermeneutika
Fadly
Zon mengungkapkan
bahwa pasal penghinaan terhadap presiden berpotensi menjadi pasal karet. Memang
ada benarnya ada yang di ungkapkan oleh pimpinan DPR tersebut. Jika pasal
tersebut terakomodir maka di masa mendatang kita akan sering melihat
pemandangan para rakyat, mahasiswa dan elemen lainnya begitu mudah di tangkap
mengingat secara hermeneutika akan pemaknaan penghinaan terhadap presiden
bernilai fleksibel, abstraktif, dan bisa jadi mengakibatkan dikotomi pemaknaan
baik secara restriktif maupun ekstensif antara penghinaan terhadap presiden itu
sendiri dengan kritikan yang di berikan ke padanya. Di sini harus di pertegas
sejauh mana batasan-batasan ruang lingkup penghinaan terhadap presiden secara
eksplisit di banding dengan penghinaan biasa, tentu kategorinya berbeda maka
dikotomi antara keduanya perlu dipertegas dalam batasan yang kategoris dan
konkrit, tentunya perlu pengkajian tentang pemahaman makna yang mendalam
dikoneksikan dengan tujuan pembentukannya. Urgensinya agar makna yang
terkandung tidak bias sehingga tidak berimplikasi pada mengsinonimkan antara
makna kritik dan makna penghinaan itu sendiri. Hasilnya akan ada limitasi
ambiguitas yang implikasinya menggerogoti hak kebebasan berpendapat sebagai hak
konstitusi masyarakat Indonesia.
Akhirnya tak ada yang ingin melihat kesibukan
media-media tanah air di masa mendatang yang sibuk menyoroti kasus-kasus
penghinaan terhadap presiden yang bisa jadi menimbulkan kriminalitas, misalnya
kritikan-kritikan yang di lontarkan oleh mahasiswa saat demonstrasi di jalanan,
dalam diskusi-diskusi para akademisi, kritikan para ahli yang menyoroti kinerja
presiden, maupun kritikan-kritikan dalam bentuk meme di media sosial yang kerap
di lontarkan oleh netizen. Mengingat penghinaan umum adalah delik aduan maka
segala macam tindakan yang menurut presiden secara subyektif adalah penghinaan
akan dengan gampangnya ia melaporkan hal tersebut. Tentu potensinya akan
menimbulkan ketakutan di mana-mana sehingga kebebasan berpendapat pun terganggu
fondasinya oleh pemerintahan yang berkuasa. Bahkan kini pemerintah Belanda
telah mengesampingkan aturan tersebut karena di anggap bertentangan dengan
prinsip freedom of opinion and expression.
Pasal Penghinaan Presiden: Penyakit Kekuasaan atau
Kewibawaan
Di sebut penyakit kekuasaan karena pengalaman bangsa
Indonesia kehadiran pasal tersebut sangat merugikan bangsa kita terlebih tujuan
eksistensinya demi kepentingan kokohnya pemerintahan yang berkuasa. Menurut Indriyanto Seno Adji dugaan pelanggaran
terhadap defamasi (penghinaan) terhadap presiden tidak memiliki unsur
eksplanasi tegas, namun implementasi praktik terjadi penyimpangan makna yang
eksesif. Diartikan implementasi sebagai “menyatakan
perasaan permusuhan, kebencian, atau meremehkan” terhadap presiden
dirumuskan sebagai “penghinaan”
terhadap presiden, hasilnya sering dilakukan penafsiran yang ekstensif bahkan
menjadi “all embracing act” terhadap
kebebasan menyatakan pendapat, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan.
Pengalaman berbicara bahwa pasal tersebut menjadi dasar bagi kekuasaan yang
sedang berdiri saat itu dipergunakan untuk menjebloskan lawan-lawan politik ke
tembok hotel prodeo artinya implementasinya menjadi instrument memperkokoh
kekuasaan dan melabeli secara implisit ke arah otoritarian.
Tengok saja saat zaman kolonial dahulu, aturan
tersebut di buat demi kepentingan memperkokoh kekuasaan penjajah atas bumi nusantara.
Pemberontakan akan di anggap sebagai perlawanan terhadap pemerintahan dan akan
di tumpas sampai ke akar-akarnya, bahkan yang lebih parah lagi saat seorang
pribumi yang menuliskan sederet kegelisahannya terhadap kolonialisme maka saat itu
juga pribumi tersebut akan berada dalam pengawasan penjajah dan dapat berakhir
tragis. Salah satu korbannya ialah Bung Karno yang di tangkap setelah aksinya
berorasi membakar semangat rakyat Indonesia. Saat Orde Lama, pasal tersebut
digunakan oleh Bung Karno untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, sedangkan
pada saat Orde Baru pasal tersebut menjadi alat untuk menancapkan kekuasaan
otoritarian.
Di bagian terakhir saya ingin mengutip jawaban Presiden
Jokowi yang diplomatis dan demokratis namun terkesan gundah dan seolah-olah
curhat, yaitu “yah mau ada atau tidak ada
pasal itu ya ngga masalah, itu kan masih RUU jadi terserah DPR hanya saja saya
sudah terbiasa kok sejak jadi Walikota, Gubernur, hingga Presiden di caci, di
hina, ya itu saja”.
Selengkapnya bunyi Pasal 263 ayat (1) RUU KUHP
“Setiap orang
yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”
Selanjutnya diperluas dalam pasal 264 RUU KUHP
”Setiap orang
yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga
terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum,
yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar
isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan penjara
paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”
Kesimpulan
1.
Pada akhirnya pasal penghinaan terhadap
presiden kini telah berlabel inkonstitusional karena tafsiran dari putusan MK
tersebut membawa babak baru bagi perkembangan prinsip freedom of opinion and expression sehingga pengajuan pasal tersebut
akan berasa dipaksakan dan seolah-olah mengkerdilkan kewibawaan MK sebagai The Guardian of Constitution dan The Interpreter of Constitution.
2.
Kehadiran pasal tersebut berpotensi
sebagai pasal karet dari sisi ruang lingkup dan komposisi struktur pemaknaan
dari penghinaan itu sendiri yang terlalu luas dan tidak kategoris sifatnya
sehingga akan berbenturan dan menciptakan dikotomi antara penghinaan Presiden dengan
penghinaan umum serta menimbulkan sinonimisasi antara penghinaan Presiden dengan
kritikan terhadap Presiden.
3.
Implikasi kehadirannya akan mengebiri
hak menyatakan pendapat yang justru dikukuhkan dalam konstitusi sehingga pasal
tersebut dapat mengebiri proses demokrasi dan dengan mudah dapat melenggangkan
kekuasaaan otoritarian bagi siapapun yang memegang jabatan Presiden. Hasilnya akan
berdampak pada terganggunnya tatanan sosial dalam konteks demokrasi pancasila.
4.
Presiden bukanlah Symbol of the State berdasarkan ketentuan BAB XV Pasal 35 sampai
36B UUD NRI Tahun 1945 seperti yang diyakini oleh Presiden Jokowi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar