IPPS

IPPS
SC

Senin, 03 Desember 2012

Menjelajahi Sistem Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial



A.   LATAR BELAKANG
Lembaga peradilan merupakan instrument terpenting dalam sistem sistem ketatanegaraan sebuah negara. Indonesia yang secara tegas disebutkan dalam konstitusi sebagai negara hukum, maka patutlah adanya sebuah lembaga peradilan sebagai lembaga penegak tiang-tiang hukum tersebut. Sejalan dengan perkembangannya lembaga peradilan menjadi sebuah tempat yang begitu disakralkan oleh hukum. Bahkan oleh masyarakat lembaga peradilan menjadi sebuah hal yang begitu konkrit menjadi tempat legalistik formalisti ditegakkannya aturan perundangan-undangan. Salah satu lembaga peradilan yang begitu sakral tatkala seseorang masuk ke dalamnya, duduk di hadapan para hakim ialah lembaga pengadilan.

Namun bukan berarti lembaga peradilan menjadi satu-satunya hal yang patut disakralkan dalam menjalankan hukum tersebut. Dalam ilmu hukum pun dikenal asas “ultitum remedium” (pengadilan adalah jalan terakhir dalam penyeleseian perkara). Bahkan hal yang mesti kita tanam di benak kita dahulu ialah bagaimana menyeleseikan perkara di luar pengadilan. Istilah presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu “penyeleseian di luar pengadilan” ,(Out of court settlement) pun patut di sakralkan, mengingat dalam intisari Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, yaitu musyawarah dan gotong royonglah yang memarking kita sebagai bangsa berbudaya asli 100% Indonesia.

Semakin berkembangnya pola hidup masyarakat yang cepat, maka semakin bertransformasi pula paradigma masyarakat Indonesia. Semakin dewasa bangsanya maka semakin terlupakan pulalah falsafah hidup pancasila. Lembaga peradilan menjadi lembaga yang begitu disakralkan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Lembaga pengadilan seolah-olah menjadi sosok penentu yang final dari sebuah klimaks permasalahan. Tak ada jalan lain selain di pengadilanlah yang telah tersegel dalam diri masyarakat. Seolah-olah kebenaran materiil ialah kebenaran yang muncul dan mutlak ketika 3 orang Yang Mulia berpakaian toga dengan segala kebijaksanaannya. Begitu majelis hakim mengetuk palu putusan, maka di situlah kebenaran itu ada. Entah isi putusan, atau para perwakilan Tuhan (hakim) yang menjadi sosok protagonis dalam cerita tersebut. Namun merekalah para harapan tertinggi masyarakat akan ucapan “keadilan” yang implementatif.

Kekuasaan kehakiman sebagai instrumen utama dalam sistem berhukum bangsa, patutlah tercipta independensi yang bebas dan merdeka (independency of judiciary). Hal ini harus mendapat jaminan konstutisional yang kuat agar hakim bebas dari tekanan luar, bujukan, gangguan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berkaitan dengan tugas dan wewenang seorang hakim sebagai pencipta keadilan bagi masyarakat.
Sebagai “nyawa” yang menggerakkan syaraf-syaraf keadilan hakim, independensi adalah juga paradigma, sikap, etos dan etika sehingga keseluruhan totalitas fisik dan non fisik hakim sebagai wakil Tuhan penegak keadilan di muka bumi memiliki legalitas moral, sosial dan spiritual.

Hal lain yang dapat membantu independensi lembaga kekuasaan kehakiman ialah berjalannya sistem check and balances antara eksekutif, legalislatif yang berperan dalam mobilisasi kemandirian yudikatif secara sistematis dan proporsional. Meskipun kekuasaan eksekutif dan legislatif terkadang bisa menjadi “pisau bermata dua” namun berperannya kedua lembaga kekuasaan tersebut secara sadar akan mampu merancang sebuah sistem yang baik dan sistematis. Namun jika kedua lembaga tersebut tidak berjalan sesuai dengan roda sistem yang ada maka dampak terbesarnya ialah terjadinya “intervensi” yang meyebabkan tersanderanya independensi serta klimaksnya ialah tercederainya rasa keadilan terhadap masyarakat.

Agar independensi dapat diemban dengan baik dan benar, hakim harus memiliki kendali pikiran yang bisa memberikan arahan dalam berpikir dan bertindak dalam menjalankan aktifitas kehakimannya, yaitu falsafah moral (moral philosophy). Faktor falsafah moral inilah yang penting untuk menjaga agar kebebasan hakim sebagai penegak hukum benar-benar dapat diterapkan sesuai dengan idealisme dan hakekat kebebasan tersebut. Dalam pengertian lain, independensi peradilan harus juga diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability). Kalau tidak, independensi akan menjadi tameng berlindung guna menyelimuti tindakan amoral dalam kekuasaan kehakiman.


Seiring perkembangan di lapangan, maka jelaslah terjadi kontradiksi serta penyimpangan-penyimpangan lainnya, apa yang di cita-citakan malah terbalik dengan praktik di lapangan. Munculnya  kejahatan baru sebagai bagian dari arus dinamika kejahatan, maka semakin berkembang tekhnologi sistem hukum, maka semakin berkembang pula virus-virus kejahatan yang merasuk dan merusak sistem berhukum di negara-negara. Kemunculan virus baru bernama “kejahatan tak terlihat” (undetected crime). Kejahatan berbentuk virus-virus yang berkembang biak bagaikan sel-sel yang terus membelah dirinya. Maka hal inilah yang masuk di setiap lembaga peradilan dan bertemu dalam ruang pengadilan itu sendiri. Maka patutlah jika muncul nama-nama keren dalam dunia peradilan, yaitu “Mafia peradilan, peradilan kelabu, maupun kolusi”. Akibatnya virus tersebut menggerogoti hati nurani dan yang terbesar ialah rusaknya moral para penegak hukum termasuk hakim sebagai pencipta dan pemberi keadilan pun menjadi sosok hitam dari keadilan tersebut. Bagaikan sebuah kebebasan dalam independensinya yang di maknai terbalik bahkan menjadi alat pemanfaatan bagi berjalannya arus virus-virus mafia yang terorganisir. 


Maka kini lembaga pengadilan bertransformasi menjadi lembaga independensi mafia hukum. Kepercayaan pun satu-persatu terenggut dan tercabik-cabik dan akhirnya tatapan sinis masyarakat pun menjadi bentuk penghukuman moral bagi lembaga peradilan kini.
Untuk menciptakan institusi pengadilan yang terkontrol dari virus-virus mafia, maka fungsi pengawasanlah yang bekerja ekstra keras. Dalam pasal Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 39 ayat (1) menjelaskan bahwa,” Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung”.
Pasal 39 Ayat (2) menegaskan bahwa,” Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Sebagai bentuk pengawasan dari dalam (internal), segala bentuk pengawasan dari dalam di semua lembaga pengadilan di kendalikan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung. Namun masalah yang muncul ialah pengawasan secara internal cenderung tertutup sehingga segala macam bentuk kesalahan hakim pun tak akan sampai diketahui oleh masyarakat luar. Entah sebagai bentuk pengawasan moral ataukan penjagaan citra dan martabat di lingkungannya sendiri. Hal ini perlu dibentuknya sebuah lembaga pengawasan dari luar lingkungan pengadilan sebagai bentuk pengawasan secara obyektif serta tak berpihak dan menjadi media kontrol dari luar (eksternal) terhadap penegakan perilaku hakim, Maka muncullah Komisi Yudisial. Salah satu alasan hadirnya Komisi Yudisial ialah karena kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang baik. 

Tugas utama dari Komisi Yudisial ialah menjaga dan mempertahankan kebebasan hakim (judicial Independent) agar supaya selalu obyektif dalam memeriksa dan memutus perkara. Bentuk gangguan tersebut salah satunya dalam bentuk pengaduan-pengaduan tentang perilaku hakim. Maka tanpa sebuah lembaga yang mampu menyaring (filter) pengaduan tersebut maka akan sangat mengganggu konsentrasi hakim dalam setiap pekerjaannya. Maka Komisi Yudisial hadir sebagai pengawas eksternal dan media penerima pengaduan-pengaduan tersebut dengan meneliti terlebih dahulu pengaduan tersebut.

Dalam menjalankan fungsinya, komisi Yudisial berkiblat pada pasal Pasal 40 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu melakukan pengawasan eksternal  untuk menegakkan kehormatan  dan menjaga keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal ini semakin dipertegas dalam ayat (2) bahwa Komisi Yudisial harus tetap menjaga agar kode etik hakim tetap terpatri dalam diri para hakim. Jika terdapat pelanggaran kode etik, maka komisi yudisial harus memeriksanya terlebih dahulu lalu membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi kepada Mahkamah Agung dalam hal penjatuha sanksi terhadap hakim yang telah melanggar kode etik.

Masalah yang muncul kembali ialah jika tidak adanya koordinasi yang baik antara Komisi yudisial dan Mahkamah Agung dalam hal pengawasan menyebabkan saling tumpah tindih serta gengsi berlebih. Hal ini berdampak ketika masuk rekomendasi dari Komisis Yudisial ke Mahkamah Agung, terkadang tidak diindahkan sama sekali. Sehingga laporan hasil pemeriksaan tersebut tidak ditindak lanjuti. Hal inilah yang mengakibatkan kekacauan sistem pengawasan bersama.

Jika tak ada kordinasi serta kerjasama yang baik maka sampai kapanpun akan sangat susah untuk menciptakan lembaga pengadilan yang bersih dan beretika jika masing-masing dari para pengawas memiliki ego masing-masing, akibatnya pun akan sangat kompleks. Maka salah satu bentuk perjuangan merekonstruksi sistem pengawasan terletak pada pembahasan RUU Komisi Yudisial. Mari kita berharap pembahasan RUU KY berisi terobosan pengawasan yang baru dan progresif.

B.  MODEL KONSEP PENGAWASAN HAKIM SECARA INTERNAL & EKSTERNAL

1.  PENGAWASAN HAKIM SECARA INTERNAL

a.  Sistem Pengawasan satu atap

Pada masa pengawasan 2 (dua) atap, sebelum adanya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan berkiblat pada Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, UU No. 2 Tahun 1986, UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 7 Tahun 1989, dan UU No. 1 Tahun 1997 bahwa  Mahkamah Agung hanya melakukan kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan tekhnis yudisial. Terhadap badan peradilan di bawah MA. Sedangkan pembinaan organisasi, administratif dan finansial badan peradilan tersebut ada di bawah departemen tekhnis masing-masing, misalnya untuk peradilan umum dan peradilan tata usaha negara berada di bawah Departemen Kehakiman sedangkan pengadilan agama berada di bawah Departemen Agama.

Sehingga terjadilah dualisme pengawasan hakim dimana sistem tersebut menyebabkan ketidakmandirian pengadilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.  Maka dengan lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman. Maka pengawasan dengan sistem 2 (dua) atap diganti dengan pengawasan dengan sistem 1 (satu) atap

b.  Mekanisme Pengawasan

Mekanisme pengawasan yang dilakukan secara umum ialah :

1.     Penelitian awal terhadap indikasi pelanggaran, yaitu :

·         Pengawasan melekat;
·         Pengawasan rutin;
·         Pemantauan pemberitaan media
·         Penerimaan lapopran masyarakat

2.    Rapat penentuan tindak lanjut atas temuan kegiatan pengawasan. Pada rapat ini setiap pengawas fungsional memaparkan hasil penelitian awal, kesimpulan serta rekomendasi tindak lanjut terhadap dugaan pelanggaran perilaku pejabat pengadilan berdasarkan hasil pengawasan. Berdasarkan hasil pembahasan, Tuada Wasbin (sebuah unit di MA bagian pengawasan & pembinaan) akan menetukan :

·         Apakah akan ditindaklanjuti atau tidak;
·         Jenis pelanggaran;
·         Ancaman hukuman disiplin yang dijatuhkan;

3.    kegiatan dan prosedur pemeriksaan

4.    penentuan rekomendasi akhir hasil pemeriksaan dan penjatuhan sanksi

2.  PENGAWASAN HAKIM SECARA EKSTERNAL

a.  sekilas tentang Komisi Yudisial

Sebenarnya ide tentang pembentukan lembaga khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Bahkan pada saat pembahasan RUU kekuasaan Kehakiman pada tahun 1968 telah diperjuangkan sebuah lembaga pengawasan kehakiman, namun upaya tersebut menemui kegagalan untuk dimasukkan ke dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Perjuangan para praktisi, akademisi dan terutama hakim tidak sampai di situ saja. Pada tahun 1999 lahirlah UU No. 35 tahun 1999 tentang perubahan atas UU NO. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam substansi pokoknya ialah penyatuan atap, dimana kewenangan pembinaan, administrasi, finansial dan organisasi diserahkan sepenuhnya ke MA. Selain itu amanah penting dalam perubahan tersebut ialah dibentuknya Dewan Kehormatan Hakim sebagai bentuk pengawasan terhadap hakim.

Pada sidang tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen amandemen ketiga UUD 1945, telah disepakati perlunya lembaga Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan kewenangan lain yang bertujuan menjaga kehormatan, martabat serta perilaku hakim. Sebagai bentuk amanat Konstitusi, maka lahirlah Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Komisi Yudisial.

Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, ternyata kewenangan pengawasan eksterla terhadap lembaga kehakiman sangat terbatas dalam hal Pengangkatan Calon Hakim Agung, dan pengawasan terhadap perilaku hakim. Berbeda dengan Komisi Yudisial di berbagai negara di dunia dimana fungsi sebuah lembaga independent di luar kehakiman yang bertugas dalam pengawasan hakim diberi kewenangan full, bahkan pengawasan dan pembinaan bukan lagi wewenang MA, melainkan lembaga independent tersebut. Hal inilah yang tidak terjadi di Indonesia, sehingga terjadilah saling tarik menarik kewenangan pengawasan antara MA dan KY yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan kekacauan sistem.

b.  Mekanisme Pengawasan Komisi Yudisial

Berdasarkan pasal 22 Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dalam melaksanakan pengawasannya, Komisi Yudisial :
a.    Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b.    Meminta laporan secara berkala tentang kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c.    Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran hakim;
d.    Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim;
e.    Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada presiden dan DPR;
Laporan hasil pemeriksaan juga berisi tentang pemberian sanksi yang dapat berupa :
a.    Teguran tertulis
b.    Pemberhentian sementara
c.    Pemberhentian
Pada pemberian sanksi berupa pemberhentian sementara dan pemberhentian, hakim yang dijatuhi sanksi tersebut diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan di hadapan majelis kehormatan hakim. Hal ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum pasal 20 angka 2, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 20 angka 2, yaitu dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pembelaan diri diltolak oleh Majelis Kehormatan Hakim. Dan Keputusan Presiden mengenai usul pemberhentian paling lambat 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima usul Mahkamah Agung.

c.    Komisi Yudisial yang Independent

Mengenai ketentuan UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, terdapat beberapa kontradiksi pasal dalam hal tugas dan kewenangan Komisi Yudisial , yaitu Pasal 21 menjelaskan secara jelas bahwa Komisi Yudisial bertugas menjatuhkan usul pengajuan sanksi, ini artinya Komisi Yudisial berhak atas penjatuhan sanksi entah itu teguran tertulis, pemberhentian sementara, maupun pemberhentian. Tetapi di pasal 23 angka (3) menjelaskan bahwa usul mengenai penjatuhan sanksi berupa pemberhentian sementara dan pemberhentian diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung. Ini berarti terdapat penyempitan makna dari pasal 21,  dimana perluasan makna tugas di pasal 21 malah di persempit oleh pasal 23 angka (3) tersebut. Maka menurut UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bahwa kewenangan Komisi Yudisial dalam hal pemberian sanksi mutlak hanya terbatas pada teguran tertulis saja, sedangkan mengenai pemberhentian sementara dan pemberhentian diserahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Agung.

Kontras dalam hal ini persoalan pemberian sanksi oleh internal lembaga kehakiman cenderung bermain api. Logika sederhananya jika dalam lingkup internal sebuah organisasi terdapat pelanggaran internal maka lembaga mana yang ingin diketahui bahwa di dalam internalnya terdapat kekacauan. Maka hal logis yang akan dilakukan ialah menutup-tutupi aib internal tersebut. Mungkin metode penyeleseian pelanggaran tersebut bisa saja ditempuh dengan jalan kekeluargaan agar tidak sampai tercium hingga ke publik. Nah hal inilah yang menjadi rujukan buat merekonstruksi sistem pengawasan yang lebih progresif seperti di negara-negara lain di luar yang memakai lembaga independent sebagai lembaga pengawasan mutlak dan komprehensif untuk mekanisme pengawasin lembaga kehakiman.

Alasan yang sangat tepat dengan merekonstruksi sistem pengawasan kehakiman dengan mentranplantasikan seluruh tanggung jawab pengawasan dan pembinanaan ke Komisi Yudisial ialah :

1.     Agar tidak terjadi monopoli pengawasan di lingkungan internal kehakiman;
2.    Menjaga kapasitas dan kapabilitas lembaga kehakiman;
3.    Menciptakan citra kemandirian lembaga kehakiman yang berdasarkan keadilan;
4.    Agar tidak terjadi penumpukan tugas dan kewajiban di lingkungan kehakiman sehingga dapat fokus pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga pencari keadilan bagi masyarakat
5.    Agar terciptanya pengawasan dengan kacamata obyektif serta tersistematis dengan baik;
6.    Sebagai lembaga independent menyebabkan pengambilan keputusan (sanksi) terhadap adanya pelanggaran kode etik hakim dilakukan tanpa pandang bulu;
7.    Dapat terhindar (bebas) dari intervensi lembaga kehakiman dikarenakan Komisi Yudisial berupa lembaga Independent sehingga pengambilan keputusan pun dinilai obyektif;

Maka alasan tersebut sudah sangat cukup untuk merekonstruksi sistem pengawasan hakim di negara kita. Jika para penegak hukum kita semuanya berfikiran progresif serta melihat ke depan akan arah tujuan lembaga kehakiman. Maka jika tak ingin lembaga kehakiman di negara kita carut marut dan berantakan sistemnya. Maka patutlah kita merekonstruksi sistem-sistem tersebut agar lebih progresif lagi. Sistem pengawasan hakim merupakan satu-satunya yang harus dirombak dan di tata ulang agar tercipta sistem yang tertib dan harmonis.

d.  Eksaminasi Putusan

Salah satu hal yang baru dalam dunia pengawasan hakim ialah melakukan pengawasan terhadap hakim melalui hasil produknya di lembaga pengadilan. Putusan merupakan produk hukum dari buah fikiran, perasaan, hati nurani yang berlandaskan hukum positif  yang tertuang dalam beberapa lembar-lembar sakral yang dibuat oleh majelis hakim terhadap sebuah perkara di sebuah pengadilan. Dalam putusan telah terangkum segala macam proses persidangan dari awal hingga akhir sebagai landasan membuat pertimbangan-pertimbangan oleh hakim yang menghasilkan putusan yang se-adil-adilnya bagi masyarakat, meskipun keadilan yang hakiki hanyalah milik Tuhan belaka. Tetapi melalui tangan hakim lah segala bentuk keadilan Tuhan telah terwakilkan oleh mereka. Seperti sebuah irah-irah dalam awal putusan, yaitu,”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Maka bukan hal yang main-main pemberian putusan merupakan buah wahyu dari Tuhan. Jika terdapat ketidakadilan dalam putusan tersebut, maka para hakim telah keluar dari koridor wahyu Tuhan dan bergeser kepada koridor  nafsu Syaitan belaka. Maka menjadi hakim bukanlah perkara main-main. Di kedua tangannya lah terletak  sebuah keadilan dimana tangan kanannya ialah keadilan yang hakiki sebagai representasi dari wahyu Tuhan, sedangkan di tangan kirinya terdapat keadilan Syaitan. Sehingga bak sebuah permainan belaka seorang hakim tinggal memberi “keadilan” tersebut, apakah akan memberinya dengan tangan kirinya ataukah tangan kanannya dalam bentuk “putusan”.

Putusan merupakan nyawa keadilan dari seorang hakim. Seorang manusia yang datang ke sebuah pengadilan bermaksud meminta sebuah “keadilan” maka hakim akan memberinya sebuah keadilan tersebut dalam bentuk putusan. Bisa dikatakan isi putusan merupakan representasi dari firian, jiwa, hati nurani, bahkan perilaku hakim. Jika putusan bernilai ketidakadilan maka jelaslah bahwa hakim tersebut bisa dikatakan memiliki moral, integritas, kredibilitas dan perilaku yang kurang tidak jernih. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui kepribadian, moral, kredibilitas, integritas serta perilaku hakim ialah dengan melakukan penelitian terhadap isi putusan tersebut, yaitu “Eksaminasi Putusan”. Jika hasil dari eksaminasi putusan bahwa putusan tersebut memiliki nilai keadilan yang tinggi, maka jelaslah bahwa hakim tersebut memiliki kualitas yang baik, tetapi jika tidak maka hakim tersebut perlu mendapat pembinaan.

Eksaminasi putusan biasanya dilakukan oleh pimpinan pengadilan atas putusan hakim bawahannya sebagai bagian dari sistem pengawasan dan penilaian hakim tersebut. Dalam kaitan ini, eksaminasi dilakukan untuk mencari atau menemukan berbagai permasalahan dalam pertimbangan hukum maupun putusan hakim terutama menyangkut penerapan hukum materiil maupun formilnya dalam kerangka penilaian secara obyektif menyangkut perkara yang bersangkutan. Meskipun lembaga eksaminasi sudah dikenal lama di lingkungan pengadilan, akan tetapi dalam prakteknya cenderung tidak efektif dan jarang sekali dilakukan.

Belakangan ini eksaminasi putusan hakim juga dilakukan secara eksternal oleh lembaga bentukan masyarakat untuk keperluan pendidikan kepada masyarakat tentang kualitas seorang hakim. Dan cara eksaminasi ini telah ditempuh oleh beberapa Ornop yang tergabung dalam koalisi pemantau peradilan, seperti Indonesian Court Monitoring (ICM) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan melibatkan para pakar hukum, akademisi, maupun praktisi hukum. Alasannya sederhana, publik selama ini tidak pernah tahu atau dilibatkan terhadap eksaminasi yang digagas oleh lembaga peradilan sehingga tidak ada kontrol sama sekali. Di samping itu, Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan diharapkan mau membuka mata bahwa masyarakat tidak pernah berhenti mengawasi lembaga peradilan ini.

C.  MODEL KONSEP PENGAWASAN HAKIM UNTUK LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan satu-satunya lembaga yang tidak punya mekanisme pengawasan langsung kepada hakim. Setiap muncul indikasi dugaan pelanggaran kode etik atau pidana tak ada satupun lembaga bisa melakukan pemeriksaan awal kepada para hakim, termasuk Komisi Yudisial (KY).Maka dari itu perlu disusun kembali, mekanisme pengawasan yang tepat bagi hakim KY.

Hal ini berkaitan setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatur bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak bisa di awasi Komisi Yudisial. Banyak yang menyayangkan hasil putusan MK tersebut dikarenakan Lembaga Mahkamah Konstitusi bukanlah sebuah lembaga kehakiman tertinggi sehingga tidak ada yang dapat mengawasi lembaga tersebut. Apalagi putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat sebagai lembaga pertama dan terakhir dalam perkara inkonstitusional. Sehingga bukan tak mungkin terjadi degradasi moral dan integritas di dalamnya mengingat sistem peradilannya yang tak mengenal istilah banding dan kasasi. Sehingga satu putusannya pun bernilai lebih bagi sebuah negara dan patut untuk dijalankan.

Meski begitu kita patut bersyukur bahwa MK masih sangat dipercaya oleh publik sebagai lambaga peradilan yang masih terus menjalankan prinsip-prinsip peradilan yang ideal. Hal ini dibuktikan dengan tingkat keberatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sangat rendah dan cenderung diterima oleh publik. Namun menurut para cendekiawan bahwa tingkat kualitas kepakaran/kenegarawan hakim-hakim  MK menurun dibanding periode sebelumnya. Sehingga menimbulkan kekhawatiran terkait degradasi moral, integritas dan kredibilitas hakim-hakim MK yang terhormat.

Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menegaskan perlunya ada pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi untuk tetap menjaga martabat dan kehormatan MK. Bahkan Mantan Hakim Konstitusi, Laica Marzuki, menilai kebutuhan akan pengawasan hakim-hakim MK sangat mendesak, jangan lupa MK milik masyarakat sehingga kita harus mengawasi dan mengoreksinya secara konstruktif memelihara martabatnya sebagai penegak konstitusi.

Permasalahannya ialah pernyataan dari kedua begawan hukum tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ini dikarenakan faktor putusan MK yang membatalkan kewenangan KY untuk melakukan pengawasan terhadap MK. Sehingga dengan adanya putusan yang final dan mengikat tersebut maka tak bisa dihidupkan kembali walaupun dengan merevisi UU KY dan UU MK. Hal ini menyebabkan dilema di antara penegak hukum, kita pun di ajak berfikir bersama bahwa dalam keadaan seperti itu maka mekanisme apalagi yang haru dipakai untuk melakukan pengawasan terhadap hakim MK. Apakah dengan membentuk lembaga independent yang khusus mengawasi hakim MK ataukah ada cara lain?

Mengenai permasalahan tersebut ada beberapa pandangan mengenai strategi dan solusi tepat, di antara beberapa pandanga tersebut, hanya tiga yang menurut sebahagian orang menyetujuinya, yaitu :
1.      Memasukkan sebagian anggota Komisi Yudisial ke dalam bagian dari Majelis Kehormatan MK dengan  mengaturnya dalam revisi UU KY dan UU MK beserta tugas, kewenangannnya masing-masing serta mekanisme pengawasan dan pembinaan yang progresif;
2.      Adannya kerjasama antara MK dengan KY dengan menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk menyepakati lingkup pengawasan, apakah dilakukan bersama-sama ataukan melimpahkannya ke Komisi yudisial;
3.      cara terakhir terbilang berani, yaitu dengan melakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945, dan mengaturnya secara eksplisit mengenai bentuk dan model pengawasan hakim MK secara progresif;
  Maka peluang pengawasan terhadap hakim-hakim MK sangat terbuka, hal ini bergantung lagi dengan DPR dan Pemerintah yang sedang merevisi UU KY dan MK, dan jika opsi pertama bisa diterima maka diharapkan ke depannya UU KY dan MK bisa mengaturnya secara progresif

D.  KESIMPULAN

Permasalahan yang terjadi di lapangan mengenai ruang lingkup pengawasan hakim memang cenderung saling sikut antara pengawasan internal oleh MA dan pengawasan Eksternal oleh KY. Dibanding di negara-negara lain di luar yang mengatur sistem pengawasan hakim dengan membentuk lembaga independent yang bebas dari campur tangan lembaga kehakiman dalam hal pengawasan dan pembinaan, serta dilakukan sepenuhnya secara komprehensif. Sehingga sistem dan pengawasan berjalan secara sistematis dan lembaga kehakiman dapat fokus dengan tugasnya sebagai lembaga pemberi keadilan. Maka tidak salah lah jika kita mulai mengubah sistem pengawasan yang ada dengan melimpahkan sepenuhnya keseluruhan bentuk pengawasan, baik secara internal maupun eksternal.
Hal lain ialah dengan melakukan eksaminasi putusan, dimana untuk melihat kualitas seorang hakim dapat dilihat dari kualitas isi putusan tersebut. Jika isi putusannya bernilai keadilan maka hakim tersebut memiliki integritas, moralitas, kredibilitas yang baik, tetapi jika isi putusanyya kurang memiliki rasa keadilan maka, hakimnya perlu dibenah lagi.

Mengenai masalah pengawasan MK yang begitu rumit dikarenakan putusan MK yang membatalkan kewenangan KY dalam melakukan pengawasan, sebenarnya jalan keluarnya pun bisa di dapat. Hanya tinggal MK yang membuka diri untuk di awasi maka peluang KY dalam melakukan pengawasan terbuka lebar. Hanya saja tanyakan hal tersebut kepada DPR dan pemerintah sebagai lembaga yang melakukan revisi terhadap UU KY dan UU MK. Mudah-mudahan antara DPR dan pemerintah berhasil menghasilkan produk UU KY dan UU MK yang progresif
E.  SARAN-SARAN

Harapan terpenting dari masyarakat ialah adalah lembaga kehakiman mampu menghasilkan putusan yang berkualitas. Bagaimana sebuah lembaga pengadilan mampu membuat pututsan yang berkualitas jika terlalu banyak pekerjaan di dalamnya. Maka untuk menggapai cita-cita tersebut maka perlulah pelimpahan kewenangan pengawasan secara keseluruhan oleh KY baik secara internal maupun eksternal.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Penyebab dan Solusinya. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2005;
Darwin, Andi Ahmad.  Yuridiksi pengawasan internal dan eksternal terhadap tanggung
jawab profesi hakim (jurnal hukum dan pembangunan tahun ke- 37 no. 3
Juli-september 2007);
____Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004,
LN Tahun 2004 Nomor  8;
____Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Umum, UU No. 8 Tahun 2004,
LN Tahun 2004 Nomor 34;
____Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, UU No. 14 Tahun 1985;
____Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, UU No. 22 Tahu 2002,
LN Tahun 2002 No. 89;
____Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009,
LN Tahun 2009 No. 157;
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung,
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003;
Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial, Jakarta:MARI, 2003;
Mahkamah Agung dan Lembaga kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan
(LeIP). Kajian pengembangan sistem, Mekanisme serta tata cara pengawasan, Penilaian kualitas dan kinerja hakim, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar