A. LATAR BELAKANG
Lembaga
peradilan merupakan instrument terpenting dalam sistem sistem ketatanegaraan
sebuah negara. Indonesia yang secara tegas disebutkan dalam konstitusi sebagai
negara hukum, maka patutlah adanya sebuah lembaga peradilan sebagai lembaga
penegak tiang-tiang hukum tersebut. Sejalan dengan perkembangannya lembaga
peradilan menjadi sebuah tempat yang begitu disakralkan oleh hukum. Bahkan oleh
masyarakat lembaga peradilan menjadi sebuah hal yang begitu konkrit menjadi
tempat legalistik formalisti ditegakkannya aturan perundangan-undangan. Salah
satu lembaga peradilan yang begitu sakral tatkala seseorang masuk ke dalamnya,
duduk di hadapan para hakim ialah lembaga pengadilan.
Namun
bukan berarti lembaga peradilan menjadi satu-satunya hal yang patut disakralkan
dalam menjalankan hukum tersebut. Dalam ilmu hukum pun dikenal asas “ultitum remedium” (pengadilan adalah
jalan terakhir dalam penyeleseian perkara). Bahkan hal yang mesti kita tanam di
benak kita dahulu ialah bagaimana menyeleseikan perkara di luar pengadilan.
Istilah presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, yaitu “penyeleseian di luar pengadilan” ,(Out of court settlement) pun patut di sakralkan, mengingat dalam
intisari Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, yaitu musyawarah dan gotong
royonglah yang memarking kita sebagai bangsa berbudaya asli 100% Indonesia.
Semakin
berkembangnya pola hidup masyarakat yang cepat, maka semakin bertransformasi
pula paradigma masyarakat Indonesia. Semakin dewasa bangsanya maka semakin
terlupakan pulalah falsafah hidup pancasila. Lembaga peradilan menjadi lembaga
yang begitu disakralkan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Lembaga pengadilan
seolah-olah menjadi sosok penentu yang final dari sebuah klimaks permasalahan.
Tak ada jalan lain selain di pengadilanlah yang telah tersegel dalam diri
masyarakat. Seolah-olah kebenaran materiil ialah kebenaran yang muncul dan
mutlak ketika 3 orang Yang Mulia berpakaian toga dengan segala
kebijaksanaannya. Begitu majelis hakim mengetuk palu putusan, maka di situlah
kebenaran itu ada. Entah isi putusan, atau para perwakilan Tuhan (hakim) yang
menjadi sosok protagonis dalam cerita tersebut. Namun merekalah para harapan
tertinggi masyarakat akan ucapan “keadilan” yang implementatif.
Kekuasaan
kehakiman sebagai instrumen utama dalam sistem berhukum bangsa, patutlah
tercipta independensi yang bebas dan merdeka (independency of judiciary). Hal ini harus mendapat jaminan
konstutisional yang kuat agar hakim bebas dari tekanan luar, bujukan, gangguan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berkaitan dengan tugas dan
wewenang seorang hakim sebagai pencipta keadilan bagi masyarakat.
Sebagai
“nyawa” yang menggerakkan syaraf-syaraf keadilan hakim, independensi adalah
juga paradigma, sikap, etos dan etika sehingga keseluruhan totalitas fisik dan
non fisik hakim sebagai wakil Tuhan penegak keadilan di muka bumi memiliki
legalitas moral, sosial dan spiritual.
Hal
lain yang dapat membantu independensi lembaga kekuasaan kehakiman ialah
berjalannya sistem check and balances antara eksekutif, legalislatif yang
berperan dalam mobilisasi kemandirian yudikatif secara sistematis dan
proporsional. Meskipun kekuasaan eksekutif dan legislatif terkadang bisa
menjadi “pisau bermata dua” namun berperannya kedua lembaga kekuasaan tersebut
secara sadar akan mampu merancang sebuah sistem yang baik dan sistematis. Namun
jika kedua lembaga tersebut tidak berjalan sesuai dengan roda sistem yang ada
maka dampak terbesarnya ialah terjadinya “intervensi” yang meyebabkan tersanderanya
independensi serta klimaksnya ialah tercederainya rasa keadilan terhadap
masyarakat.
Agar
independensi dapat diemban dengan baik dan benar, hakim harus memiliki kendali
pikiran yang bisa memberikan arahan dalam berpikir dan bertindak dalam
menjalankan aktifitas kehakimannya, yaitu falsafah moral (moral philosophy).
Faktor falsafah moral inilah yang penting untuk menjaga agar kebebasan hakim
sebagai penegak hukum benar-benar dapat diterapkan sesuai dengan idealisme dan
hakekat kebebasan tersebut. Dalam pengertian lain, independensi peradilan harus
juga diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability).
Kalau tidak, independensi akan menjadi tameng berlindung guna menyelimuti
tindakan amoral dalam kekuasaan kehakiman.
Seiring perkembangan di lapangan, maka jelaslah terjadi kontradiksi serta penyimpangan-penyimpangan lainnya, apa yang di cita-citakan malah terbalik dengan praktik di lapangan. Munculnya kejahatan baru sebagai bagian dari arus dinamika kejahatan, maka semakin berkembang tekhnologi sistem hukum, maka semakin berkembang pula virus-virus kejahatan yang merasuk dan merusak sistem berhukum di negara-negara. Kemunculan virus baru bernama “kejahatan tak terlihat” (undetected crime). Kejahatan berbentuk virus-virus yang berkembang biak bagaikan sel-sel yang terus membelah dirinya. Maka hal inilah yang masuk di setiap lembaga peradilan dan bertemu dalam ruang pengadilan itu sendiri. Maka patutlah jika muncul nama-nama keren dalam dunia peradilan, yaitu “Mafia peradilan, peradilan kelabu, maupun kolusi”. Akibatnya virus tersebut menggerogoti hati nurani dan yang terbesar ialah rusaknya moral para penegak hukum termasuk hakim sebagai pencipta dan pemberi keadilan pun menjadi sosok hitam dari keadilan tersebut. Bagaikan sebuah kebebasan dalam independensinya yang di maknai terbalik bahkan menjadi alat pemanfaatan bagi berjalannya arus virus-virus mafia yang terorganisir.
Maka kini lembaga pengadilan bertransformasi menjadi lembaga independensi mafia hukum. Kepercayaan pun satu-persatu terenggut dan tercabik-cabik dan akhirnya tatapan sinis masyarakat pun menjadi bentuk penghukuman moral bagi lembaga peradilan kini.
Untuk
menciptakan institusi pengadilan yang terkontrol dari virus-virus mafia, maka
fungsi pengawasanlah yang bekerja ekstra keras. Dalam pasal Undang-Undang No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 39 ayat (1) menjelaskan
bahwa,” Pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung”.
Pasal
39 Ayat (2) menegaskan bahwa,” Pengawasan
internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sebagai
bentuk pengawasan dari dalam (internal), segala bentuk pengawasan dari dalam di
semua lembaga pengadilan di kendalikan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung. Namun
masalah yang muncul ialah pengawasan secara internal cenderung tertutup
sehingga segala macam bentuk kesalahan hakim pun tak akan sampai diketahui oleh
masyarakat luar. Entah sebagai bentuk pengawasan moral ataukan penjagaan citra
dan martabat di lingkungannya sendiri. Hal ini perlu dibentuknya sebuah lembaga
pengawasan dari luar lingkungan pengadilan sebagai bentuk pengawasan secara
obyektif serta tak berpihak dan menjadi media kontrol dari luar (eksternal)
terhadap penegakan perilaku hakim, Maka muncullah Komisi Yudisial. Salah satu
alasan hadirnya Komisi Yudisial ialah karena kegagalan sistem yang ada untuk
menciptakan pengadilan yang baik.
Tugas
utama dari Komisi Yudisial ialah menjaga dan mempertahankan kebebasan hakim (judicial Independent) agar supaya selalu
obyektif dalam memeriksa dan memutus perkara. Bentuk gangguan tersebut salah
satunya dalam bentuk pengaduan-pengaduan tentang perilaku hakim. Maka tanpa
sebuah lembaga yang mampu menyaring (filter)
pengaduan tersebut maka akan sangat mengganggu konsentrasi hakim dalam setiap
pekerjaannya. Maka Komisi Yudisial hadir sebagai pengawas eksternal dan media
penerima pengaduan-pengaduan tersebut dengan meneliti terlebih dahulu pengaduan
tersebut.
Dalam
menjalankan fungsinya, komisi Yudisial berkiblat pada pasal Pasal 40 ayat (1)
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu melakukan
pengawasan eksternal untuk menegakkan
kehormatan dan menjaga keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal ini semakin dipertegas dalam ayat
(2) bahwa Komisi Yudisial harus tetap menjaga agar kode etik hakim tetap
terpatri dalam diri para hakim. Jika terdapat pelanggaran kode etik, maka
komisi yudisial harus memeriksanya terlebih dahulu lalu membuat laporan hasil
pemeriksaan berupa rekomendasi kepada Mahkamah Agung dalam hal penjatuha sanksi
terhadap hakim yang telah melanggar kode etik.
Masalah
yang muncul kembali ialah jika tidak adanya koordinasi yang baik antara Komisi
yudisial dan Mahkamah Agung dalam hal pengawasan menyebabkan saling tumpah
tindih serta gengsi berlebih. Hal ini berdampak ketika masuk rekomendasi dari
Komisis Yudisial ke Mahkamah Agung, terkadang tidak diindahkan sama sekali.
Sehingga laporan hasil pemeriksaan tersebut tidak ditindak lanjuti. Hal inilah
yang mengakibatkan kekacauan sistem pengawasan bersama.
Jika
tak ada kordinasi serta kerjasama yang baik maka sampai kapanpun akan sangat
susah untuk menciptakan lembaga pengadilan yang bersih dan beretika jika
masing-masing dari para pengawas memiliki ego masing-masing, akibatnya pun akan
sangat kompleks. Maka salah satu bentuk perjuangan merekonstruksi sistem
pengawasan terletak pada pembahasan RUU Komisi Yudisial. Mari kita berharap
pembahasan RUU KY berisi terobosan pengawasan yang baru dan progresif.
B. MODEL
KONSEP PENGAWASAN HAKIM SECARA INTERNAL & EKSTERNAL
1. PENGAWASAN
HAKIM SECARA INTERNAL
a. Sistem
Pengawasan satu atap
Pada
masa pengawasan 2 (dua) atap, sebelum adanya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan berkiblat pada Undang-Undang No. 14 Tahun
1970, UU No. 2 Tahun 1986, UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 7 Tahun 1989, dan UU No.
1 Tahun 1997 bahwa Mahkamah Agung hanya
melakukan kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan tekhnis yudisial.
Terhadap badan peradilan di bawah MA. Sedangkan pembinaan organisasi,
administratif dan finansial badan peradilan tersebut ada di bawah departemen
tekhnis masing-masing, misalnya untuk peradilan umum dan peradilan tata usaha
negara berada di bawah Departemen Kehakiman sedangkan pengadilan agama berada
di bawah Departemen Agama.
Sehingga
terjadilah dualisme pengawasan hakim dimana sistem tersebut menyebabkan
ketidakmandirian pengadilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Maka dengan lahirnya Undang-Undang No. 35
Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
kekuasaan kehakiman. Maka pengawasan dengan sistem 2 (dua) atap diganti dengan
pengawasan dengan sistem 1 (satu) atap
b. Mekanisme
Pengawasan
Mekanisme
pengawasan yang dilakukan secara umum ialah :
1.
Penelitian
awal terhadap indikasi pelanggaran, yaitu :
·
Pengawasan
melekat;
·
Pengawasan
rutin;
·
Pemantauan
pemberitaan media
·
Penerimaan
lapopran masyarakat
2.
Rapat
penentuan tindak lanjut atas temuan kegiatan pengawasan. Pada rapat ini setiap
pengawas fungsional memaparkan hasil penelitian awal, kesimpulan serta
rekomendasi tindak lanjut terhadap dugaan pelanggaran perilaku pejabat pengadilan
berdasarkan hasil pengawasan. Berdasarkan hasil pembahasan, Tuada Wasbin
(sebuah unit di MA bagian pengawasan & pembinaan) akan menetukan :
·
Apakah akan
ditindaklanjuti atau tidak;
·
Jenis
pelanggaran;
·
Ancaman
hukuman disiplin yang dijatuhkan;
3.
kegiatan
dan prosedur pemeriksaan
4.
penentuan
rekomendasi akhir hasil pemeriksaan dan penjatuhan sanksi
2. PENGAWASAN
HAKIM SECARA EKSTERNAL
a. sekilas
tentang Komisi Yudisial
Sebenarnya
ide tentang pembentukan lembaga khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu
yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Bahkan pada
saat pembahasan RUU kekuasaan Kehakiman pada tahun 1968 telah diperjuangkan
sebuah lembaga pengawasan kehakiman, namun upaya tersebut menemui kegagalan
untuk dimasukkan ke dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Perjuangan
para praktisi, akademisi dan terutama hakim tidak sampai di situ saja. Pada
tahun 1999 lahirlah UU No. 35 tahun 1999 tentang perubahan atas UU NO. 14 Tahun
1970 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam substansi pokoknya ialah penyatuan
atap, dimana kewenangan pembinaan, administrasi, finansial dan organisasi
diserahkan sepenuhnya ke MA. Selain itu amanah penting dalam perubahan tersebut
ialah dibentuknya Dewan Kehormatan Hakim sebagai bentuk pengawasan terhadap
hakim.
Pada
sidang tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen amandemen ketiga UUD
1945, telah disepakati perlunya lembaga Komisi Yudisial yang berwenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan kewenangan lain yang bertujuan menjaga
kehormatan, martabat serta perilaku hakim. Sebagai bentuk amanat Konstitusi,
maka lahirlah Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Komisi Yudisial.
Dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, ternyata kewenangan
pengawasan eksterla terhadap lembaga kehakiman sangat terbatas dalam hal
Pengangkatan Calon Hakim Agung, dan pengawasan terhadap perilaku hakim. Berbeda
dengan Komisi Yudisial di berbagai negara di dunia dimana fungsi sebuah lembaga
independent di luar kehakiman yang bertugas dalam pengawasan hakim diberi
kewenangan full, bahkan pengawasan dan pembinaan bukan lagi wewenang MA,
melainkan lembaga independent tersebut. Hal inilah yang tidak terjadi di
Indonesia, sehingga terjadilah saling tarik menarik kewenangan pengawasan antara
MA dan KY yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan kekacauan sistem.
b. Mekanisme
Pengawasan Komisi Yudisial
Berdasarkan
pasal 22 Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dalam
melaksanakan pengawasannya, Komisi Yudisial :
a.
Menerima
laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b.
Meminta
laporan secara berkala tentang kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku
hakim;
c.
Melakukan
pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran hakim;
d.
Memanggil
dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku
hakim;
e.
Membuat
laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah
Agung dan atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada
presiden dan DPR;
Laporan
hasil pemeriksaan juga berisi tentang pemberian sanksi yang dapat berupa :
a.
Teguran
tertulis
b.
Pemberhentian
sementara
c.
Pemberhentian
Pada
pemberian sanksi berupa pemberhentian sementara dan pemberhentian, hakim yang
dijatuhi sanksi tersebut diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan di hadapan
majelis kehormatan hakim. Hal ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 2004 tentang
Peradilan Umum pasal 20 angka 2, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara pasal 20 angka 2, yaitu dalam hal pembelaan diri ditolak, usul
pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung kepada Presiden paling lambat
14 (empat belas) hari setelah pembelaan diri diltolak oleh Majelis Kehormatan
Hakim. Dan Keputusan Presiden mengenai usul pemberhentian paling lambat 14
(empat belas) hari sejak Presiden menerima usul Mahkamah Agung.
c. Komisi Yudisial yang Independent
Mengenai
ketentuan UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, terdapat beberapa kontradiksi
pasal dalam hal tugas dan kewenangan Komisi Yudisial , yaitu Pasal 21 menjelaskan
secara jelas bahwa Komisi Yudisial bertugas menjatuhkan usul pengajuan sanksi,
ini artinya Komisi Yudisial berhak atas penjatuhan sanksi entah itu teguran
tertulis, pemberhentian sementara, maupun pemberhentian. Tetapi di pasal 23
angka (3) menjelaskan bahwa usul mengenai penjatuhan sanksi berupa
pemberhentian sementara dan pemberhentian diserahkan oleh Komisi Yudisial
kepada Mahkamah Agung. Ini berarti terdapat penyempitan makna dari pasal
21, dimana perluasan makna tugas di
pasal 21 malah di persempit oleh pasal 23 angka (3) tersebut. Maka menurut UU
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bahwa kewenangan Komisi Yudisial
dalam hal pemberian sanksi mutlak hanya terbatas pada teguran tertulis saja,
sedangkan mengenai pemberhentian sementara dan pemberhentian diserahkan
sepenuhnya kepada Mahkamah Agung.
Kontras
dalam hal ini persoalan pemberian sanksi oleh internal lembaga kehakiman
cenderung bermain api. Logika sederhananya jika dalam lingkup internal sebuah
organisasi terdapat pelanggaran internal maka lembaga mana yang ingin diketahui
bahwa di dalam internalnya terdapat kekacauan. Maka hal logis yang akan
dilakukan ialah menutup-tutupi aib internal tersebut. Mungkin metode
penyeleseian pelanggaran tersebut bisa saja ditempuh dengan jalan kekeluargaan
agar tidak sampai tercium hingga ke publik. Nah hal inilah yang menjadi rujukan
buat merekonstruksi sistem pengawasan yang lebih progresif seperti di
negara-negara lain di luar yang memakai lembaga independent sebagai lembaga
pengawasan mutlak dan komprehensif untuk mekanisme pengawasin lembaga
kehakiman.
Alasan
yang sangat tepat dengan merekonstruksi sistem pengawasan kehakiman dengan
mentranplantasikan seluruh tanggung jawab pengawasan dan pembinanaan ke Komisi
Yudisial ialah :
1.
Agar tidak
terjadi monopoli pengawasan di lingkungan internal kehakiman;
2.
Menjaga
kapasitas dan kapabilitas lembaga kehakiman;
3.
Menciptakan
citra kemandirian lembaga kehakiman yang berdasarkan keadilan;
4.
Agar tidak
terjadi penumpukan tugas dan kewajiban di lingkungan kehakiman sehingga dapat
fokus pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga pencari keadilan bagi
masyarakat
5.
Agar
terciptanya pengawasan dengan kacamata obyektif serta tersistematis dengan
baik;
6.
Sebagai
lembaga independent menyebabkan pengambilan keputusan (sanksi) terhadap adanya
pelanggaran kode etik hakim dilakukan tanpa pandang bulu;
7.
Dapat
terhindar (bebas) dari intervensi lembaga kehakiman dikarenakan Komisi Yudisial
berupa lembaga Independent sehingga pengambilan keputusan pun dinilai obyektif;
Maka
alasan tersebut sudah sangat cukup untuk merekonstruksi sistem pengawasan hakim
di negara kita. Jika para penegak hukum kita semuanya berfikiran progresif
serta melihat ke depan akan arah tujuan lembaga kehakiman. Maka jika tak ingin
lembaga kehakiman di negara kita carut marut dan berantakan sistemnya. Maka
patutlah kita merekonstruksi sistem-sistem tersebut agar lebih progresif lagi.
Sistem pengawasan hakim merupakan satu-satunya yang harus dirombak dan di tata
ulang agar tercipta sistem yang tertib dan harmonis.
d. Eksaminasi
Putusan
Salah
satu hal yang baru dalam dunia pengawasan hakim ialah melakukan pengawasan
terhadap hakim melalui hasil produknya di lembaga pengadilan. Putusan merupakan
produk hukum dari buah fikiran, perasaan, hati nurani yang berlandaskan hukum
positif yang tertuang dalam beberapa
lembar-lembar sakral yang dibuat oleh majelis hakim terhadap sebuah perkara di
sebuah pengadilan. Dalam putusan telah terangkum segala macam proses
persidangan dari awal hingga akhir sebagai landasan membuat
pertimbangan-pertimbangan oleh hakim yang menghasilkan putusan yang
se-adil-adilnya bagi masyarakat, meskipun keadilan yang hakiki hanyalah milik
Tuhan belaka. Tetapi melalui tangan hakim lah segala bentuk keadilan Tuhan
telah terwakilkan oleh mereka. Seperti sebuah irah-irah dalam awal putusan, yaitu,”DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Maka bukan hal yang main-main
pemberian putusan merupakan buah wahyu dari Tuhan. Jika terdapat ketidakadilan
dalam putusan tersebut, maka para hakim telah keluar dari koridor wahyu Tuhan
dan bergeser kepada koridor nafsu
Syaitan belaka. Maka menjadi hakim bukanlah perkara main-main. Di kedua
tangannya lah terletak sebuah keadilan
dimana tangan kanannya ialah keadilan yang hakiki sebagai representasi dari
wahyu Tuhan, sedangkan di tangan kirinya terdapat keadilan Syaitan. Sehingga
bak sebuah permainan belaka seorang hakim tinggal memberi “keadilan” tersebut, apakah akan memberinya dengan tangan kirinya
ataukah tangan kanannya dalam bentuk “putusan”.
Putusan
merupakan nyawa keadilan dari seorang hakim. Seorang manusia yang datang ke
sebuah pengadilan bermaksud meminta sebuah “keadilan” maka hakim akan
memberinya sebuah keadilan tersebut dalam bentuk putusan. Bisa dikatakan isi
putusan merupakan representasi dari firian, jiwa, hati nurani, bahkan perilaku
hakim. Jika putusan bernilai ketidakadilan maka jelaslah bahwa hakim tersebut
bisa dikatakan memiliki moral, integritas, kredibilitas dan perilaku yang
kurang tidak jernih. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui kepribadian,
moral, kredibilitas, integritas serta perilaku hakim ialah dengan melakukan
penelitian terhadap isi putusan tersebut, yaitu “Eksaminasi Putusan”. Jika hasil dari eksaminasi putusan bahwa
putusan tersebut memiliki nilai keadilan yang tinggi, maka jelaslah bahwa hakim
tersebut memiliki kualitas yang baik, tetapi jika tidak maka hakim tersebut
perlu mendapat pembinaan.
Eksaminasi putusan biasanya dilakukan oleh pimpinan
pengadilan atas putusan hakim bawahannya sebagai bagian dari sistem pengawasan
dan penilaian hakim tersebut. Dalam kaitan ini, eksaminasi dilakukan untuk
mencari atau menemukan berbagai permasalahan dalam pertimbangan hukum maupun
putusan hakim terutama menyangkut penerapan hukum materiil maupun formilnya
dalam kerangka penilaian secara obyektif menyangkut perkara yang bersangkutan.
Meskipun lembaga eksaminasi sudah dikenal lama di lingkungan pengadilan, akan
tetapi dalam prakteknya cenderung tidak efektif dan jarang sekali dilakukan.
Belakangan ini eksaminasi putusan hakim juga dilakukan
secara eksternal oleh lembaga bentukan masyarakat untuk keperluan pendidikan
kepada masyarakat tentang kualitas seorang hakim. Dan cara eksaminasi ini telah
ditempuh oleh beberapa Ornop yang tergabung dalam koalisi pemantau peradilan,
seperti Indonesian Court Monitoring (ICM) dan Indonesian Corruption Watch (ICW)
dengan melibatkan para pakar hukum, akademisi, maupun praktisi hukum. Alasannya
sederhana, publik selama ini tidak pernah tahu atau dilibatkan terhadap
eksaminasi yang digagas oleh lembaga peradilan sehingga tidak ada kontrol sama
sekali. Di samping itu, Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan diharapkan mau
membuka mata bahwa masyarakat tidak pernah berhenti mengawasi lembaga peradilan
ini.
C. MODEL KONSEP PENGAWASAN HAKIM UNTUK
LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan satu-satunya lembaga yang tidak punya mekanisme pengawasan langsung kepada hakim. Setiap muncul indikasi dugaan pelanggaran kode etik atau pidana tak ada satupun lembaga bisa melakukan pemeriksaan awal kepada para hakim, termasuk Komisi Yudisial (KY).Maka dari itu perlu disusun kembali, mekanisme pengawasan yang tepat bagi hakim KY.
Hal ini berkaitan setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatur bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak bisa di awasi Komisi Yudisial. Banyak yang menyayangkan hasil putusan MK tersebut dikarenakan Lembaga Mahkamah Konstitusi bukanlah sebuah lembaga kehakiman tertinggi sehingga tidak ada yang dapat mengawasi lembaga tersebut. Apalagi putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat sebagai lembaga pertama dan terakhir dalam perkara inkonstitusional. Sehingga bukan tak mungkin terjadi degradasi moral dan integritas di dalamnya mengingat sistem peradilannya yang tak mengenal istilah banding dan kasasi. Sehingga satu putusannya pun bernilai lebih bagi sebuah negara dan patut untuk dijalankan.
Meski begitu kita patut bersyukur bahwa MK masih sangat dipercaya oleh publik sebagai lambaga peradilan yang masih terus menjalankan prinsip-prinsip peradilan yang ideal. Hal ini dibuktikan dengan tingkat keberatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sangat rendah dan cenderung diterima oleh publik. Namun menurut para cendekiawan bahwa tingkat kualitas kepakaran/kenegarawan hakim-hakim MK menurun dibanding periode sebelumnya. Sehingga menimbulkan kekhawatiran terkait degradasi moral, integritas dan kredibilitas hakim-hakim MK yang terhormat.
Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menegaskan perlunya ada pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi untuk tetap menjaga martabat dan kehormatan MK. Bahkan Mantan Hakim Konstitusi, Laica Marzuki, menilai kebutuhan akan pengawasan hakim-hakim MK sangat mendesak, jangan lupa MK milik masyarakat sehingga kita harus mengawasi dan mengoreksinya secara konstruktif memelihara martabatnya sebagai penegak konstitusi.
Permasalahannya ialah pernyataan dari kedua begawan hukum tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ini dikarenakan faktor putusan MK yang membatalkan kewenangan KY untuk melakukan pengawasan terhadap MK. Sehingga dengan adanya putusan yang final dan mengikat tersebut maka tak bisa dihidupkan kembali walaupun dengan merevisi UU KY dan UU MK. Hal ini menyebabkan dilema di antara penegak hukum, kita pun di ajak berfikir bersama bahwa dalam keadaan seperti itu maka mekanisme apalagi yang haru dipakai untuk melakukan pengawasan terhadap hakim MK. Apakah dengan membentuk lembaga independent yang khusus mengawasi hakim MK ataukah ada cara lain?
Mengenai permasalahan tersebut ada beberapa pandangan mengenai strategi dan solusi tepat, di antara beberapa pandanga tersebut, hanya tiga yang menurut sebahagian orang menyetujuinya, yaitu :
1. Memasukkan
sebagian anggota Komisi Yudisial ke dalam bagian dari Majelis Kehormatan MK
dengan mengaturnya dalam revisi UU KY
dan UU MK beserta tugas, kewenangannnya masing-masing serta mekanisme
pengawasan dan pembinaan yang progresif;
2. Adannya
kerjasama antara MK dengan KY dengan menandatangani nota kesepahaman (MoU)
untuk menyepakati lingkup pengawasan, apakah dilakukan bersama-sama ataukan
melimpahkannya ke Komisi yudisial;
3. cara
terakhir terbilang berani, yaitu dengan melakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945,
dan mengaturnya secara eksplisit mengenai bentuk dan model pengawasan hakim MK
secara progresif;
Maka peluang
pengawasan terhadap hakim-hakim MK sangat terbuka, hal ini bergantung lagi
dengan DPR dan Pemerintah yang sedang merevisi UU KY dan MK, dan jika opsi
pertama bisa diterima maka diharapkan ke depannya UU KY dan MK bisa mengaturnya
secara progresif
D. KESIMPULAN
Permasalahan yang terjadi di lapangan mengenai ruang lingkup pengawasan hakim memang cenderung saling sikut antara pengawasan internal oleh MA dan pengawasan Eksternal oleh KY. Dibanding di negara-negara lain di luar yang mengatur sistem pengawasan hakim dengan membentuk lembaga independent yang bebas dari campur tangan lembaga kehakiman dalam hal pengawasan dan pembinaan, serta dilakukan sepenuhnya secara komprehensif. Sehingga sistem dan pengawasan berjalan secara sistematis dan lembaga kehakiman dapat fokus dengan tugasnya sebagai lembaga pemberi keadilan. Maka tidak salah lah jika kita mulai mengubah sistem pengawasan yang ada dengan melimpahkan sepenuhnya keseluruhan bentuk pengawasan, baik secara internal maupun eksternal.
Hal lain ialah dengan melakukan eksaminasi putusan, dimana
untuk melihat kualitas seorang hakim dapat dilihat dari kualitas isi putusan
tersebut. Jika isi putusannya bernilai keadilan maka hakim tersebut memiliki
integritas, moralitas, kredibilitas yang baik, tetapi jika isi putusanyya
kurang memiliki rasa keadilan maka, hakimnya perlu dibenah lagi.
Mengenai masalah pengawasan MK yang begitu rumit dikarenakan putusan MK yang membatalkan kewenangan KY dalam melakukan pengawasan, sebenarnya jalan keluarnya pun bisa di dapat. Hanya tinggal MK yang membuka diri untuk di awasi maka peluang KY dalam melakukan pengawasan terbuka lebar. Hanya saja tanyakan hal tersebut kepada DPR dan pemerintah sebagai lembaga yang melakukan revisi terhadap UU KY dan UU MK. Mudah-mudahan antara DPR dan pemerintah berhasil menghasilkan produk UU KY dan UU MK yang progresif
E. SARAN-SARAN
Harapan terpenting dari masyarakat ialah adalah lembaga kehakiman mampu menghasilkan putusan yang berkualitas. Bagaimana sebuah lembaga pengadilan mampu membuat pututsan yang berkualitas jika terlalu banyak pekerjaan di dalamnya. Maka untuk menggapai cita-cita tersebut maka perlulah pelimpahan kewenangan pengawasan secara keseluruhan oleh KY baik secara internal maupun eksternal.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Achmad. Keterpurukan Hukum Di Indonesia,
Penyebab dan Solusinya. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2005;
Darwin,
Andi Ahmad. Yuridiksi pengawasan internal dan eksternal terhadap tanggung
jawab
profesi hakim (jurnal
hukum dan pembangunan tahun ke- 37 no. 3
Juli-september 2007);
____Indonesia,
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004,
LN Tahun 2004 Nomor 8;
____Indonesia,
Undang-Undang tentang Peradilan Umum, UU No. 8 Tahun 2004,
LN Tahun 2004 Nomor 34;
____Indonesia,
Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, UU No. 14 Tahun 1985;
____Indonesia,
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, UU No. 22 Tahu 2002,
LN Tahun 2002 No. 89;
____Indonesia,
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009,
LN Tahun 2009 No. 157;
Mahkamah
Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung,
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003;
Mahkamah
Agung RI, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial, Jakarta:MARI, 2003;
Mahkamah
Agung dan Lembaga kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan
(LeIP).
Kajian pengembangan sistem, Mekanisme serta tata cara pengawasan, Penilaian
kualitas dan kinerja hakim, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar