Tulisan ini dibuat oleh sahabat saya Ayyub Saputra Kadriah, S.H.
- UNDANG UNDANG SEBAGAI HUKUM TERTULIS
H.L.A.Hart, membedakan arti dari “positivisme” seperti
yang banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yakni: anggapan bahwa
undang-undang adalah perintah-perintah manusia; [1]
Dan tori ini masih dipakai dalam masa modern sekarang ini dan
ditegaskan bahwa hukum sebagai kerangka kehidupan sosial ini harus dibuat
modern pula
apabila kita ingin membentuk masyarakat Indonesia yang
modern?[2]. Modernisasi di sini pada pokoknya dapat ditempuh melalui dua jalan:
1. Dengan mengembangkan konsepsi-konsepsi serta lembaga-lembaga
tradisional sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat dewasa ini; dan
2. Dengan melakukan pengoperan hukum dari negara lain.[3].
Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, bahwa “hukum sebagaimana
diterima dan dijalankan di negara-negara di dunia sekarang ini,
pada
umumnya termasuk ke dalam kategori hukum yang modern.”[4]. Hukum
modern memiliki ciri: (1) bentuknya yang tertulis, (2) berlaku untuk seluruh
wilayah negara, dan (3) sebagai instrumen yang secara sadar dipakai untuk
mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.[5].
Perlu juga diketahui bahwa undang – undang ialah suatu peraturan
Negara yang mempunyai kekuatan hokum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh
pengasa Negara, menurut BUYS undang undang dibedakan menjadi dia arti :
- Dalam arti formil adalah setuap keputusan pemerintah yang memerlukan Undang – undang karena cara pembuatannya ( dibuat oleh parlemen dan pemerintah)
- Dlam arti materil bahwa undang - undang adalah setiap peraturan pemerintah yang isinya mengikat langsung penduduk
Dan memiliki syarat formil untuk diundangkan dalam lembar Negara
yang berlaku 30(tiga puluh) hari setelah di undangkan untuk jawa Madura serta
100(seratus) hari untuk daerah diluar jawa Madura, dan setelah itu dianggap
semua orang dianggap tahu akan undang – undang tersebut [6].
Di Indonesia sendiri undang – undang dikenali sebagai salah satu
bentuk peraturan perundangan untuk melaksanakan undang – undang dasar dinamakan
undang – undang organik. [7].
dan sebagai perintah manusia undang – undang tersebut dibuat
oleh orang – orang yang diberi hak untuk memerintah manusia lainnya, dengan
kata lain undang - undang adalah sebuah alat yang digunakan untuk mempermudah
kehidupan manusia, sama seperti mobil, motor dan banyak lagi alat – alat yang
lain digunakan manusia untuk mempermudahnya bedanya undang undang bukan
berbentuk benda tetapi sekumpulan pasal – pasal yang berisi aturan tata hidup
masyarakat, lalu kalau kita membicarakan undang – undang kita selalu seolah –
olah sedang membicarakan hukum, pertanyaan mendasarnya apakah undang undang itu
adalah hukum?,
jawabannya dapat juga kita lihat, dalam Teori Lon Fuller
yang menekankan pada isi hukum positif harus dipenuhi delapan persyaratan
moral tertentu antara lain:
a. Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan
keputusan. Perlunya sifat tentang persyaratan sifat keumuman, artinya
memberikan bentuk hukum kepada otoritas berarti bahwa keputusan-keputusan
otoritatif tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas dasar
kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum;
b. Aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh
dirahasiakan
melainkan harus diumumkan. Seringkali otoritas-otoritas
cenderung untuk tidak mengumumkan aturan-aturan dengan tujuan mencegah orang
mendasarkan klaim-klaimnya atas aturan-aturan tersebut, sehingga aturan-aturan
tadi mengikat otoritas-otoritasnya sendiri;
c. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan
di kemudian hari, artinya, hukum tidak boleh berlaku surut;
d. Hukum harus dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat dimengerti
oleh
rakyat;
e. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
f. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar
kemampuan
pihak-pihak yang terkena, artinya hukum tidak boleh
memerintahkan
sesuatu yang tidak mungkin dilakukan;
g. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah
sewaktuwaktu;
h. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang
diumumkan
dengan pelaksanaan kenyataannya [8].
Juga dalam teori hukum dari beberapa pakar dipaparkan
definisi hokum:
O. Notohamidjojo.
Keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang
biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat Negara
antarnegara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna,
demi tata tertib dan damai dalam masyarakat.[9]
C.J.T simorangkir .SH
Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan
resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tersebut mengakibatkan
diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu [10].
Dan dari teori lon fuller O.Noto hamidjojo dan J.C.T.
Simorangkir. SH. tersebut dapat dikatan bahwa secara positifistik undang –
undang yang memuat aturan – aturan adalah hokum debgan bentuk yang
modern, berbentuk tertulis, karena (Wet)undang – undang telah memenuhi syarat
sebagai hokum tertulis sesuai dengan pernyataan pakar – pakar tersebut.
- MASALAH
APLIKASI UNDANG – UNDANG
Merupakan kurun waktu yang cukup lama untuk membuat bangsa
Indonesia terbiasa dengan sistem hukum tertulis, sebagai akibat dari pengaruh
sistem hukum sipil (Eropa Kontinental) yang dianutnya selama berabad-abad.[11].
Pertanyaan selanjutnya yang muncul dalam benak kita apakah hokum
yang tertulis dalam undang – undang tersebut telah teraplikasi secara nyata
dalam kehidupan sehari hari masyarakat Indonesia.?
Penulis mencoba meninjau hal tersebut menggunakan kacamata
sosiologi, hokum,Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu, akan “melihat, menerima,
dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat, tidak
di luar itu [12].
. “Sosiologi hukum adalah ilmu empiris, yang melihat
pengalaman-pengalaman nyata dari orang-orang yang terlihat ke dalam dunia
hukum, baik sebagai pengambil keputusan, sebagai praktisi hukum, maupun sebagai
warga negara biasa. Sosiologi hukum adalah juga ilmu yang deskriptif, eksplanasitoris
dan membuat prediksi-prediksi” [13]
Dan dengan melihat hokum sebagai bagian dari prilaku sosial
masyarakat kita dapat melihat banyaknya prilaku – prilaku masyarakat yang
sangat bersebrangan denagn aturan perundang – undangan yang ada, dan
hokum tertulis tersebut belum mampu mengajak masyarakat untuk tunduk dan
patuh terhadapnya sebahagian besar diakibatkan masyarakat yang merasa bahwa
aturan yang berlaku tidak cukup adil bagi mereka, karena
pengaplikasiannya oleh aparatur Negara yang terlalu formalistic dan
berbelit - belit sehingga membuat masyarakat bahkan aparatur hokum sendiri
merasa lebih nyaman melanggarnya ketimbang mematuhinya
Hal ini
mengingatkan penulis kepada salah satu pola pemikiran hokum yang berkembang di
jerman, Interessenjurisprudenz tegas-tegas menolak pertimbangan
yuridis yang legalistik yang dilakukan secara pasang-jarak dan in
abstracto. Ia tidak memulai pemeriksaan dari bangunan peraturan secara
hitam-putih, melainkan dari konteks dan kasus khusus di luar narasi tekstual aturan
itu sendiri. Sebab keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses
logis-formal. Keadilan justru diperoleh lewat intuisi. Karenanya,
argumen-argumen logisformal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk
membingkai secara yuridisformal keputusan yang diyakini adil tersebut.[14]
jika hukum terus dibiarkan terus hidup dalam keterbatasannya
yang hanya berputar putar pada pembangunan hokum tekstual seperti sekarang,
maka pembangunan hukum juga akan berorientasi kepada pembangunan
komponen-komponen hukum yang hanya berkaitan dengan system pembentukan norma
atau penerapan norma itu, padahal dalam kenyataannya, penerapan hukum sebagai
suatu norma tidaklah cukup hanya dengan melibatkan komponen-komponen yang
bersangkutan dengan sistem norma saja.[15 ]
- KEKALAHAN
UDANG - UNDANG LALULINTAS SEBAGAI CONTOH
contoh kecil sehari – hari yang dapat kita lihat dijalan, dimana
banyak masyarakat yang berkeliling kota tanpa menggunakan helm, tanpa
menyalakan lampu motor di siang hari, atau yang dengan santainya melanggar
lampu merah dan membahayakan pengendara lain, dan aparat kepolisian bukannya
tinggal diam akan hal tersebut dan beberapa tertangkap tangan sedang melanggar
lalulintas, namun sekali lagi hokum dilumpuhkan dengan dua puluh ribu rupiah.
Haltersebut tidak didamkan poleh sebagian orang, khususnya
aparat kepolisian, lalu dibangun lah suatu system baru, dengan perundang
undangan baru yang dendanya lebih besar dan menakutkan, namun hal tersebut sama
sekali GAGAL, karena masyarakat masih saja menjalankan hokum yang mereka buat
sendiri, dimana hokum tersebut tidak tertulis dalam lembar Negara, namun
tertulis dikepala polisi dengan anekdot masyarakat bahwa kalau berhadapan
dengan polantas “ DAMAI ITU =INDAH Rp.20.000”
Anehnya lagi hukum tersebut teraplikasi tanpa penyebutan aturan
“ DAMAI ITU = INDAH Rp.20.000” karena terjadi seperti sebagai suatu
kebiasaan yang lumrah, polisi cukup terbatuk- batuk paksa, atau dengan
menjelaskan pasal secara berbelit – belit sambil menahan pelanggar agar berlama
– lama memberikan surat tilang kepada pengendara yang melanggar, agar
pengendara tersebut mengerti hokum yang ingin diterapkan oleh polisi tersebut,
dan massyarakatpun dengan santai menerima hukumannya karena, memang aturan
lalulintas dan persidangannya sangat berbelit – belit sehingga pelanggar tidak
peduli lagi dengan resiko penjara karana melakukan penyuapan terhadap aparat
hukum
Dan hal ini menimbulkan pertanyaan baru, bahwa yang
manakah sebenarnya hokum yang berlaku dijalan, apakah “setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor tidak memiliki surat ijin mengemudi
dipidana dengan kurungan empat bulan penjara atau denda paling banyak satujuta
rupiah”ataukah “ DAMAI ITU = INDAH Rp.20.000”
Masalah ini disebabkan oleh teori-teori positivisme dengan
metode analitisnya, sangat mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan,
oleh karena teori tersebut direduksi menjadi jenis pengetahuan
yang mempunyai objek kajian kasus tertentu dan diselesaikan secara ringkas
dengan sekian pasal dalam teks hukum positif.[16]. Penafsiran berjalan secara
amat pragmatik atau fungsional demi memecahkan kasus belaka, sehingga hukum
perdata, dagang, pidana, dan semacamnya, hanya membentuk individu yang pandai
menghafal pasal-pasal di luar kepala.[17]. yang implikasinya adalah undang –
undang seolah didewakan dan tidak perlu di interpretasikan dan di konstruksikan
lagi demi menjaga asas kepastian dalam hokum, dan membuat undang – undang itu
sendiri menjadi semakin kering, dan seperti layaknya ternak di padang pasir,
masyarakat yang kekeringan pun akan mencari oasis hukumnya sendiri dan kadang –
kadang terjebak dalam fatamorgana hokum jalanan “ DAMAI ITU = INDAH Rp.20.000”
Kekalahan Undang – undang(Wet) terjadi seketika
perbuatan(Hendeling) masyarakat telah meninggalkannya.
- APLIKASI HUKUM SEBAGAI PEMENANG PERANG
Melihat kenyataan bahwa peraturan perundang undangan khususnya
laulintas telah mengalami berbagi perubahan namun masih saja lumpuh menghadapi
masyarakat dan pelanggaranya maka dengan logika awam saja kita sudah dapat
melihat kekalahan hokum tertulis, dalam hal ini undang – undang gagal mengatasi
masalah maraknya kecelakaan lalu lintas khususnya karena tindakan pengendara
itu sendiri,
maka untuk menyelesaikan maslah tersebut maka kita perlu
mengetahui masalah dari hokum tertulis yang bersifat positifistis
tersebut dimana pengeleloaanya terlalu didominasi oleh cara berfikir legalisme
yang terlalu berpusat pada aturan, yang implikasinya perubahan hokum hanya
senantiasa berharap kepada perubahan aturan saja, dimana setelah aturan dirubah
dan Undang – undang telah diamandemen maka masalah dianggap telah terselesaikan
dan masyarakat akan sertamerta menjalankannya lalu angka kecelakaan akan
menurun, namun sayangnya hal tersebut tidak terjadi, karena hanya sedikit
menakut nakuti masyarakat dan tidak merubah keadaan secara signifikan
untuk mengatasi kelumpuhan hokum tersebut, hukum progresif
menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik. Kejujuran & ketulusan menjadi
mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan,
menjadi roh penyelenggaraan hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan
kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak
hukum menjadi ujung tombak perubahan Dalam logika itulah revitalisasi hukum
dilakukan. Perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas
pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi
perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing
the law), karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang
progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan
itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus
menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakkan interpretasi secara
baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada
pencari keadilan [18].
Sudah tentu, untuk mewujudkan pembaruan mendasar seperti
ditawarkan hukum progresif itu, butuh sokongan kerangka keyakinan baru barupa
sebuah model rujukan yang dapat memandu perubahan yang hendak dilakukan.
Keperluan akan model/exemplar seperti itu didasarkan pada tiga
pertimbangan. Pertama, karena hukum progresif berusaha menolak
keberadaan status quo – manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, status
korup, dan semangat merugikan kepentingan rakyat. Kedua, dalam
hukum progresif melekat semangat “perlawanan” dan “pemberontakan” untuk
mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para pelaku
hukum. Ketiga, kehadiran sebuah eksemplar atau contoh/model, akan
dapat menyatukan kekuatan-kekuatan hukum progresif pada satu platform aksi,
karena exemplar selalu menyediakan tiga “perangkat lunak” yang dibutuhkan
sebuah gerakan (movement): (1) Landasan ideologis atau filosofis yang mendasari
gerakan yang diperjuangkan. (2) Masalah yang dianggap relevan dan penting untuk
diperjuangkan dan dikerjakan, serta (3) Metode dan prosedur yang tepat dan
efektif untuk menyelesaikan masalah dimaksud [19].
namun untuk merubah SDHM (sumberdaya hokum manusia) yang
sudah ada cukum sulit karena mereka telah terpatri oleh system dan telah
terdogma dengan kebiasaan – kebiasaan penyelewengan yang amoral bahkan
membahayakan nyawa oranglain tersebut, pilihan lainnya yang bisa diambil
adalah membangun SDHM baru dari titik dunia pendidikan dengan menanamkan
pola – pola pemikiran progresif pada pemikiran cendikiawan hokum Indonesia
sebagai calon aparatur hokum Negara, agar perubahan pada tingkat aparatur
nantinya dapat tercapai dengan persiapan garda muda pembaharu hokum tersebut.
Tapi prlu diingan bahwa tidak mudah mempersiapkan SDHM di dunia
pendidikan hokum saat ini dikarenakan, Paradigma pendidikan hukum di Indonesia,
tampaknya masih didominasi oleh penggambaran mengenai kebenaran profesional
daripada kebenaran ilmiah. Keadaan seperti itu tampaknya dipengaruhi oleh
mapannya program pendidikan hukum untuk melayani kebutuhan profesi, yang
diselenggarakan Fakultasfakultas Hukum. Selama ini out put dari
Fakultas Hukum, hanya akan menghasilkan para yuris professional [20]
. yang berpandangan normatif, tidak mampu melihat kebenaran yang
sesungguhnya, sehingga cenderung melihat hokum sebagai “rule and logic”,
sebagai implikasinya gambar yang lengkap mengenai hukum menjadi cacat. Oleh
karena itu, perlu ada “paradigm shift”, mengenai pendidikan
hukum di Indonesia, yang cenderung positivistik, menuju pendidikan hukum dengan
pemahaman holistik dengan dibantu ilmu lain, sehingga produknya tidak melihat
hukum dengan model “kaca mata kuda”.
kalau kita melihat kepada salah satu pemikiran Jimly
Asshiddiqie, yang menulis: “Tidak boleh terjadi seorang calon sarjana
hukum perdata tidak pernah mengunjungi pengadilan dan menyaksikan proses
peradilan berlangsung. Juga tidak boleh terjadi calon seorang sarjana hukum
tatanegara belum pernah berkunjung dan menyaksikan perdebatan mengenai RUU di
Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian pula, telaah mengenai suatu ketentuan hukum
tidak boleh hanya terpaku pada teks ketentuan perundang-undangan secara
normatif, tetapi harus menelaah kasus-kasus berkenaan dengan perkara di
pengadilan mengenai hal tersebut, seperti yang dipelajari dalam sistem Common
Law”. [21],
Saya rasa hal tersebut tidak ada salahnya namun terlalu
kaku (strict) dan perlu diketahui bahwa,pendidikan tinggi
hukum yang berpretensi “akademis universiter” atau“teoritis ilmiah”[22].
namun kurang menyentuh nurani para peserta didik, sehingga berakibat
bekunya nurani mereka. Oleh karena itu, para peserta didik di fakultas-fakultas
hukum di Indonesia ke depan jangan lagi hanya diarahkan untuk memiliki skills sebagai
tukang menerapkan hukum positip tetapi kurang cerdas spiritual dan emosionalnya
dalam memaknai persoalan bangsanya sendiri. Untuk itu maka, kurikulum fakultas
hukum orientasinya tidak saja terbatas pada pengajaran profesional
skills, tetapi harus meliputi juga etika dan moral profesional (professional
ethics and moral), tanggung jawab profesional (professional
responsibility), serta manajemen qalbu (spiritual
management), Ketiga factor yang amat penting dalam pembentukan watak
atau karakter setiap manusia itu jika secara kumulatif disatukan dalam
penggemblengan kader-kader calon penegak hukum,[23]
Jika melihat fakultas – fakultas hokum dewasa ini telah banyak
yang maju dan berkembang seperti Universitas Indonesia, Universitas diponegoro,
dan masih banyak lagi Universitas lainnya yang telah maju dari segi pendidikan
hukumnya, namun di belahan Indonesia lainnya masih banyak Universitas yang
masih sangat jauh ketinggalan pola pendidikan hukumnya khususnya kebanyakan Universitas
di dalam kota Makassar, namun hal tersebut menjadi tantangan bagi mahasiswa
yang berada dalam Universitas tersebut, untuk bisa maju dengan usahanya
sendiri, tentu maju dengan lebih progresif dan meretas semua keterbatasan serta
mengatasi perang dingin antara hokum tertulis dan hokum yang teraplikasi,
dengan pilihan alternative,
KALAU KAMPUS TIDAK BISA MEMBERI PERUBAHAN MAKA KITA
(mahasiswa) HARUS MEMPERBAHARUI SENDIRI.
Akhir kata.
MAJU TERUS TABRAK TEMBOK GARDA DEPAN PEMBAHARU HUKUM
INDONESIA….!!
DAFTAR ISI
[0] Ketua Ikatan Penggait Peradilan Semu UIN ALAUDDIN Makassar,
dan Anggota Bidang Lapangan LKBH Permahi DPC. Makassar
[1] . W.Friedmann, Legal Theory. New York:
Columbia University Press, hal.256-257
[2] Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H,. ASAL USUL SERTA
LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif
sebagai das Sollen). hal.14
.[3]Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat. Bandung: Alumni,
1977, h. 45-53
.[4] Lihat Satjipto Rahardjo, “Hukum dalam Perspektif
Perkembangan”, dalam Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986, hal.
178.
[5] Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H,. dalam ASAL
USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum
Progresif sebagai das Sollen). hal.9
[6]. pengertian dan tujuan hukum hal.14-15
[7] ibid
[8] lihat, Lon Fuller dalam The Morality of Law,
Yale University Press, 1964,
[9] Monalia Sakwati, tugas mata kuliah pengantar ilmu
hokum “definisi hukum menurut para ahli”, hal.2.
[10].ibid
[11] Lili Rasjidi, “Pembangunan Sistem Hukum Dalam
Rangka Pembinaan Hukum Nasional”, dalam Bunga Rampai
Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco, Bandung, 1995, hal.357.
[12] Rahardjo, 2010
[13] ibid
[14] Dikutip dari Bernard L. Tanya, “Butuh Pelaku Hukum yang
Kreatif”, Makalah pada Diskusi Bulanan Dosen FH-Ubhara, 10 Januari 2004, hal.
3.
[15] Lili Rasjidi, “Pembangunan Sistem Hukum Dalam
Rangka Pembinaan Hukum Nasional”,dalam Bunga Rampai Pembangunan
Hukum Indonesia, Eresco, Bandung, 1995, hal.357.
[16] Anom Surya Putra, Manifestasi Hukum Kritis: “Teori Hukum
Kritis, Dogmatika dan Praktik Hukum”, dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif, Edisi 6, Tahun II, 2000, hal.70.
[17] ibid
[18] Sudijono Sastroadmodjo,Konfigurasi Hukum Progresif
, hal. 187
[19]ibid.
[20] Satjipto Rahardjo, “Perkembangan Pendekatan Ilmu Sosial
Dalam Kajian Hukum”,dalam Majalah Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum
Nasional No.2, 1994, hal.5; Albert Hasibuan, “Pembinaan Profesi Hukum Dalam
PJP II”, dalam Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
No.1 Tahun 1996, hal.104
[21]Lihat, Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum
Nasional di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal.114.
[22] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat…Op. Cit., hal. 26.
,[23] Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H,. ASAL USUL
SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum
Progresif sebagai das Sollen). hal.14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar