IPPS

IPPS
SC

Rabu, 07 Mei 2014

Hukum yang Tertulis Vs Hukum yang Teraplikasi



Tulisan ini dibuat oleh sahabat saya Ayyub Saputra Kadriah, S.H.

- UNDANG UNDANG SEBAGAI HUKUM TERTULIS

 H.L.A.Hart, membedakan arti dari “positivisme” seperti yang banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yakni:  anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia; [1]
Dan tori ini masih dipakai dalam masa modern sekarang ini dan ditegaskan bahwa hukum sebagai kerangka kehidupan sosial ini harus dibuat modern pula
apabila kita ingin membentuk masyarakat Indonesia yang modern?[2]. Modernisasi di sini pada pokoknya dapat ditempuh melalui dua jalan:

1. Dengan mengembangkan konsepsi-konsepsi serta lembaga-lembaga
tradisional sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat dewasa ini; dan
2. Dengan melakukan pengoperan hukum dari negara lain.[3].

Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, bahwa “hukum sebagaimana
diterima dan dijalankan di negara-negara di dunia sekarang ini, pada
umumnya termasuk ke dalam kategori hukum yang modern.”[4]. Hukum modern memiliki ciri: (1) bentuknya yang tertulis, (2) berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan (3) sebagai instrumen yang secara sadar dipakai untuk

mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.[5].  
Perlu juga diketahui bahwa undang – undang ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hokum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh pengasa Negara, menurut BUYS undang undang dibedakan menjadi dia arti :
  1. Dalam arti formil adalah setuap keputusan pemerintah yang memerlukan Undang – undang karena cara pembuatannya ( dibuat oleh parlemen dan pemerintah)
  2. Dlam arti materil bahwa  undang - undang adalah setiap peraturan pemerintah yang isinya mengikat langsung penduduk
Dan memiliki syarat formil untuk diundangkan dalam lembar Negara yang berlaku 30(tiga puluh) hari setelah di undangkan untuk jawa Madura serta 100(seratus) hari untuk daerah diluar jawa Madura, dan setelah itu dianggap semua orang dianggap tahu akan undang – undang tersebut [6].
Di Indonesia sendiri undang – undang dikenali sebagai salah satu bentuk peraturan perundangan untuk melaksanakan undang – undang dasar dinamakan undang – undang organik. [7].

dan sebagai perintah manusia undang – undang tersebut dibuat oleh orang – orang yang diberi hak untuk memerintah manusia lainnya, dengan kata lain undang - undang adalah sebuah alat yang digunakan untuk mempermudah kehidupan manusia, sama seperti mobil, motor dan banyak lagi alat – alat yang lain digunakan manusia untuk mempermudahnya bedanya undang undang bukan berbentuk benda tetapi sekumpulan pasal – pasal yang berisi aturan tata hidup masyarakat, lalu kalau kita membicarakan undang – undang kita selalu seolah – olah sedang membicarakan hukum, pertanyaan mendasarnya apakah undang undang itu adalah hukum?,

 jawabannya dapat juga kita lihat, dalam Teori Lon Fuller yang  menekankan pada isi hukum positif harus dipenuhi delapan persyaratan moral tertentu antara lain:

a. Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. Perlunya sifat tentang persyaratan sifat keumuman, artinya memberikan bentuk hukum kepada otoritas berarti bahwa keputusan-keputusan otoritatif tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum;

b. Aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan
melainkan harus diumumkan. Seringkali otoritas-otoritas cenderung untuk tidak mengumumkan aturan-aturan dengan tujuan mencegah orang mendasarkan klaim-klaimnya atas aturan-aturan tersebut, sehingga aturan-aturan tadi mengikat otoritas-otoritasnya sendiri;

c. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan
di kemudian hari, artinya, hukum tidak boleh berlaku surut;

d. Hukum harus dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat dimengerti oleh
rakyat;

e. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;

f. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan
pihak-pihak yang terkena, artinya hukum tidak boleh memerintahkan
sesuatu yang tidak mungkin dilakukan;

g. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah sewaktuwaktu;

h. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan
dengan pelaksanaan kenyataannya [8].
  
Juga dalam teori hukum dari beberapa pakar  dipaparkan definisi hokum:
O. Notohamidjojo.
Keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat Negara antarnegara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat.[9]

C.J.T simorangkir .SH
Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tersebut mengakibatkan diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu [10].
Dan dari teori lon fuller O.Noto hamidjojo dan J.C.T. Simorangkir. SH. tersebut dapat dikatan bahwa secara positifistik undang – undang yang memuat aturan – aturan  adalah hokum debgan bentuk yang modern, berbentuk tertulis, karena (Wet)undang – undang telah memenuhi syarat sebagai hokum tertulis sesuai dengan pernyataan pakar – pakar tersebut.



-         MASALAH APLIKASI UNDANG – UNDANG
Merupakan kurun waktu yang cukup lama untuk membuat bangsa Indonesia terbiasa dengan sistem hukum tertulis, sebagai akibat dari pengaruh sistem hukum sipil (Eropa Kontinental) yang dianutnya selama berabad-abad.[11].

Pertanyaan selanjutnya yang muncul dalam benak kita apakah hokum yang tertulis dalam undang – undang tersebut telah teraplikasi secara nyata dalam kehidupan sehari hari masyarakat Indonesia.?
 Penulis mencoba meninjau hal tersebut menggunakan kacamata sosiologi, hokum,Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu, akan “melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat, tidak di luar itu [12].

.  “Sosiologi hukum adalah ilmu empiris, yang melihat pengalaman-pengalaman nyata dari orang-orang yang terlihat  ke dalam dunia hukum, baik sebagai pengambil keputusan, sebagai praktisi hukum, maupun sebagai warga negara biasa. Sosiologi hukum adalah juga ilmu yang deskriptif, eksplanasitoris dan membuat prediksi-prediksi” [13]

Dan dengan melihat hokum sebagai bagian dari prilaku sosial masyarakat kita dapat melihat banyaknya prilaku – prilaku masyarakat yang sangat bersebrangan denagn aturan  perundang – undangan yang ada, dan hokum tertulis tersebut  belum mampu mengajak masyarakat untuk tunduk dan patuh terhadapnya sebahagian besar diakibatkan masyarakat yang merasa bahwa aturan yang berlaku tidak cukup adil bagi mereka,  karena pengaplikasiannya oleh aparatur Negara  yang terlalu formalistic dan berbelit - belit sehingga membuat masyarakat bahkan aparatur hokum sendiri  merasa lebih nyaman melanggarnya ketimbang mematuhinya

 Hal ini mengingatkan penulis kepada salah satu pola pemikiran hokum yang berkembang di jerman, Interessenjurisprudenz  tegas-tegas menolak pertimbangan yuridis yang legalistik yang dilakukan secara pasang-jarak dan in abstracto. Ia tidak memulai pemeriksaan dari bangunan peraturan secara hitam-putih, melainkan dari konteks dan kasus khusus di luar narasi tekstual aturan itu sendiri. Sebab keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis-formal. Keadilan justru diperoleh lewat intuisi. Karenanya, argumen-argumen logisformal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridisformal keputusan yang diyakini adil tersebut.[14]

jika hukum terus dibiarkan terus hidup dalam keterbatasannya yang hanya berputar putar pada pembangunan hokum tekstual seperti sekarang, maka pembangunan hukum juga akan berorientasi kepada pembangunan komponen-komponen hukum yang hanya berkaitan dengan system pembentukan norma atau penerapan norma itu, padahal dalam kenyataannya, penerapan hukum sebagai suatu norma tidaklah cukup hanya dengan melibatkan komponen-komponen yang bersangkutan dengan sistem norma saja.[15 ]

-         KEKALAHAN UDANG - UNDANG LALULINTAS SEBAGAI CONTOH
contoh kecil sehari – hari yang dapat kita lihat dijalan, dimana banyak masyarakat yang berkeliling kota tanpa menggunakan helm, tanpa menyalakan lampu motor di siang hari, atau yang dengan santainya melanggar lampu merah dan membahayakan pengendara lain, dan aparat kepolisian bukannya tinggal diam akan hal tersebut dan beberapa tertangkap tangan sedang melanggar lalulintas, namun sekali lagi hokum dilumpuhkan dengan dua puluh ribu rupiah.

Haltersebut tidak didamkan poleh sebagian orang, khususnya aparat kepolisian, lalu dibangun lah suatu system baru, dengan perundang undangan baru yang dendanya lebih besar dan menakutkan, namun hal tersebut sama sekali GAGAL, karena masyarakat masih saja menjalankan hokum yang mereka buat sendiri, dimana hokum tersebut tidak tertulis dalam lembar Negara, namun tertulis dikepala polisi dengan anekdot masyarakat bahwa kalau berhadapan  dengan polantas “ DAMAI ITU =INDAH Rp.20.000”

Anehnya lagi hukum tersebut teraplikasi tanpa penyebutan aturan “ DAMAI ITU = INDAH Rp.20.000” karena terjadi seperti sebagai suatu kebiasaan yang lumrah, polisi cukup terbatuk- batuk paksa, atau dengan menjelaskan pasal secara berbelit – belit sambil menahan pelanggar agar berlama – lama memberikan surat tilang kepada pengendara yang melanggar, agar pengendara tersebut mengerti hokum yang ingin diterapkan oleh polisi tersebut, dan massyarakatpun dengan santai menerima hukumannya karena, memang aturan lalulintas dan persidangannya sangat berbelit – belit sehingga pelanggar tidak peduli lagi dengan resiko penjara karana melakukan penyuapan terhadap aparat hukum

Dan hal ini  menimbulkan pertanyaan baru, bahwa yang manakah sebenarnya hokum yang berlaku dijalan, apakah “setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor tidak memiliki surat ijin mengemudi dipidana dengan kurungan empat bulan penjara atau denda paling banyak satujuta rupiah”ataukah  “ DAMAI ITU = INDAH Rp.20.000”

Masalah ini disebabkan oleh  teori-teori positivisme dengan metode analitisnya, sangat mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan, oleh karena teori tersebut direduksi menjadi jenis pengetahuan yang mempunyai objek kajian kasus tertentu dan diselesaikan secara ringkas dengan sekian pasal dalam teks hukum positif.[16]. Penafsiran berjalan secara amat pragmatik atau fungsional demi memecahkan kasus belaka, sehingga hukum perdata, dagang, pidana, dan semacamnya, hanya membentuk individu yang pandai menghafal pasal-pasal di luar kepala.[17]. yang implikasinya adalah undang – undang seolah didewakan dan tidak perlu di interpretasikan dan di konstruksikan lagi demi menjaga asas kepastian dalam hokum, dan membuat undang – undang itu sendiri menjadi semakin kering, dan seperti layaknya ternak di padang pasir, masyarakat yang kekeringan pun akan mencari oasis hukumnya sendiri dan kadang – kadang terjebak dalam fatamorgana hokum jalanan “ DAMAI ITU = INDAH Rp.20.000”
Kekalahan Undang – undang(Wet) terjadi seketika perbuatan(Hendeling) masyarakat telah meninggalkannya.

- APLIKASI HUKUM SEBAGAI PEMENANG PERANG
Melihat kenyataan bahwa peraturan perundang undangan khususnya laulintas telah mengalami berbagi perubahan namun masih saja lumpuh menghadapi masyarakat dan pelanggaranya maka dengan logika awam saja kita sudah dapat melihat kekalahan hokum tertulis, dalam hal ini undang – undang gagal mengatasi masalah maraknya kecelakaan lalu lintas khususnya karena tindakan pengendara itu sendiri,

maka untuk menyelesaikan maslah tersebut  maka kita perlu mengetahui masalah dari hokum tertulis yang bersifat positifistis  tersebut dimana pengeleloaanya terlalu didominasi oleh cara berfikir legalisme yang terlalu berpusat pada aturan, yang implikasinya perubahan hokum hanya senantiasa berharap kepada perubahan aturan saja, dimana setelah aturan dirubah dan Undang – undang telah diamandemen maka masalah dianggap telah terselesaikan dan masyarakat akan sertamerta menjalankannya lalu angka kecelakaan akan menurun, namun sayangnya hal tersebut tidak terjadi, karena hanya sedikit menakut nakuti masyarakat dan tidak merubah keadaan secara signifikan

untuk mengatasi kelumpuhan hokum tersebut, hukum progresif menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik. Kejujuran & ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggaraan hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakkan interpretasi secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan [18].

Sudah tentu, untuk mewujudkan pembaruan mendasar seperti ditawarkan hukum progresif itu, butuh sokongan kerangka keyakinan baru barupa sebuah model rujukan yang dapat memandu perubahan yang hendak dilakukan. Keperluan akan model/exemplar seperti itu didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, karena hukum progresif berusaha menolak keberadaan status quo – manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, status korup, dan semangat merugikan kepentingan rakyat. Kedua, dalam hukum progresif melekat semangat “perlawanan” dan “pemberontakan” untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para pelaku hukum. Ketiga, kehadiran sebuah eksemplar atau contoh/model, akan dapat menyatukan kekuatan-kekuatan hukum progresif pada satu platform aksi, karena exemplar selalu menyediakan tiga “perangkat lunak” yang dibutuhkan sebuah gerakan (movement): (1) Landasan ideologis atau filosofis yang mendasari gerakan yang diperjuangkan. (2) Masalah yang dianggap relevan dan penting untuk diperjuangkan dan dikerjakan, serta (3) Metode dan prosedur yang tepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah dimaksud [19].

namun untuk merubah  SDHM (sumberdaya hokum manusia) yang sudah ada cukum sulit karena mereka telah terpatri oleh system dan telah terdogma dengan kebiasaan – kebiasaan penyelewengan  yang amoral bahkan membahayakan nyawa oranglain tersebut, pilihan lainnya yang bisa diambil  adalah membangun SDHM baru dari titik dunia pendidikan dengan menanamkan pola – pola pemikiran progresif pada pemikiran cendikiawan hokum Indonesia sebagai calon aparatur hokum Negara, agar perubahan pada tingkat aparatur nantinya dapat tercapai dengan persiapan garda muda pembaharu hokum tersebut.

Tapi prlu diingan bahwa tidak mudah mempersiapkan SDHM di dunia pendidikan hokum saat ini dikarenakan, Paradigma pendidikan hukum di Indonesia, tampaknya masih didominasi oleh penggambaran mengenai kebenaran profesional daripada kebenaran ilmiah. Keadaan seperti itu tampaknya dipengaruhi oleh mapannya program pendidikan hukum untuk melayani kebutuhan profesi, yang diselenggarakan Fakultasfakultas Hukum. Selama ini out put dari Fakultas Hukum, hanya akan menghasilkan para yuris professional [20]

. yang berpandangan normatif, tidak mampu melihat kebenaran yang sesungguhnya, sehingga cenderung melihat hokum sebagai “rule and logic”, sebagai implikasinya gambar yang lengkap mengenai hukum menjadi cacat. Oleh karena itu, perlu ada “paradigm shift”, mengenai pendidikan hukum di Indonesia, yang cenderung positivistik, menuju pendidikan hukum dengan pemahaman holistik dengan dibantu ilmu lain, sehingga produknya tidak melihat hukum dengan model “kaca mata kuda”.

kalau kita melihat kepada salah satu pemikiran Jimly Asshiddiqie,  yang menulis: “Tidak boleh terjadi seorang calon sarjana hukum perdata tidak pernah mengunjungi pengadilan dan menyaksikan proses peradilan berlangsung. Juga tidak boleh terjadi calon seorang sarjana hukum tatanegara belum pernah berkunjung dan menyaksikan perdebatan mengenai RUU di Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian pula, telaah mengenai suatu ketentuan hukum tidak boleh hanya terpaku pada teks ketentuan perundang-undangan secara normatif, tetapi harus menelaah kasus-kasus berkenaan dengan perkara di pengadilan mengenai hal tersebut, seperti yang dipelajari dalam sistem Common Law”. [21],

 Saya rasa hal tersebut tidak ada salahnya namun terlalu kaku (strict) dan  perlu  diketahui bahwa,pendidikan tinggi hukum yang berpretensi “akademis universiter” atau“teoritis ilmiah”[22].  namun kurang menyentuh nurani para peserta didik, sehingga berakibat bekunya nurani mereka. Oleh karena itu, para peserta didik di fakultas-fakultas hukum di Indonesia ke depan jangan lagi hanya diarahkan untuk memiliki skills sebagai tukang menerapkan hukum positip tetapi kurang cerdas spiritual dan emosionalnya dalam memaknai persoalan bangsanya sendiri. Untuk itu maka, kurikulum fakultas hukum orientasinya tidak saja terbatas pada pengajaran profesional skills, tetapi harus meliputi juga etika dan moral profesional (professional ethics and moral), tanggung jawab profesional (professional responsibility), serta manajemen qalbu (spiritual management), Ketiga factor yang amat penting dalam pembentukan watak atau karakter setiap manusia itu jika secara kumulatif disatukan dalam penggemblengan kader-kader calon penegak hukum,[23]
Jika melihat fakultas – fakultas hokum dewasa ini telah banyak yang maju dan berkembang seperti Universitas Indonesia, Universitas diponegoro, dan masih banyak lagi Universitas lainnya yang telah maju dari segi pendidikan hukumnya, namun di belahan Indonesia lainnya masih banyak Universitas yang masih sangat jauh ketinggalan pola pendidikan hukumnya khususnya kebanyakan Universitas di dalam kota Makassar, namun hal tersebut menjadi tantangan bagi mahasiswa yang berada dalam Universitas tersebut, untuk bisa maju dengan usahanya sendiri, tentu maju dengan lebih progresif dan meretas semua keterbatasan serta mengatasi perang dingin antara hokum tertulis dan hokum yang teraplikasi, dengan pilihan alternative,

 KALAU KAMPUS TIDAK BISA MEMBERI PERUBAHAN MAKA KITA (mahasiswa) HARUS MEMPERBAHARUI SENDIRI.

Akhir kata.
MAJU TERUS TABRAK TEMBOK GARDA DEPAN PEMBAHARU HUKUM INDONESIA….!!


DAFTAR  ISI
[0] Ketua Ikatan Penggait Peradilan Semu UIN ALAUDDIN Makassar, dan Anggota Bidang Lapangan LKBH Permahi DPC. Makassar
[1] .  W.Friedmann, Legal Theory. New York: Columbia University Press, hal.256-257
[2] Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H,.  ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen). hal.14
.[3]Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat. Bandung: Alumni,
1977, h. 45-53
.[4] Lihat Satjipto Rahardjo, “Hukum dalam Perspektif Perkembangan”, dalam Ilmu HukumBandung: Alumni, 1986, hal. 178.
[5] Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H,. dalam ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen). hal.9
 [6]. pengertian dan tujuan hukum hal.14-15
[7] ibid
[8] lihat, Lon Fuller dalam The Morality of Law, Yale University Press, 1964,
[9] Monalia Sakwati, tugas mata kuliah pengantar ilmu hokum “definisi hukum menurut para ahli”, hal.2.
[10].ibid
[11] Lili Rasjidi, “Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional”, dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco, Bandung, 1995, hal.357.
[12]  Rahardjo, 2010
[13] ibid
[14] Dikutip dari Bernard L. Tanya, “Butuh Pelaku Hukum yang Kreatif”, Makalah pada Diskusi Bulanan Dosen FH-Ubhara, 10 Januari 2004, hal. 3.
[15] Lili Rasjidi, “Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional”,dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco, Bandung, 1995, hal.357.
[16] Anom Surya Putra, Manifestasi Hukum Kritis: “Teori Hukum Kritis, Dogmatika dan Praktik Hukum”, dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 6, Tahun II, 2000, hal.70.
[17] ibid
[18] Sudijono Sastroadmodjo,Konfigurasi Hukum Progresif , hal. 187
[19]ibid.
[20] Satjipto Rahardjo, “Perkembangan Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Kajian Hukum”,dalam Majalah Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional No.2, 1994, hal.5; Albert Hasibuan, “Pembinaan Profesi Hukum Dalam PJP II”, dalam Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, No.1 Tahun 1996, hal.104
[21]Lihat, Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal.114.
[22] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat…Op. Cit., hal. 26.

,[23] Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H,.  ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen). hal.14 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar