Negara didirikan ialah
menciptakan negara kesejahteraan dimana esensi masyarakat tertib akan terwujud
dalam jagat berhukum di negara tersebut. Terutama Negara Republik Indonesia
yang di proklamirkan oleh pejuang-pejuang negeri ini demi terwujudnya negara
kesejahteraan dan negara ketertiban
sebagai cita-cita bangsa yang luhur yang termaktub dalam Pancasila dan
UUD NRI 1945.
Namun seiring berjalan waktu,
Tidak semudah membalikkan telapak tangan maka semuanya tercapai butuh proses
panjang membangun bangsa tersebut mencapai cita-citanya. Jalan terjal pun di
lalui. Berbagai permasalahan bangsa silih berganti menerpa, dinamika masyarakat
dan berbagai macam perkembangan pemikiran
mempengaruhi segalanya. Bahkan hukum pun tidak mampu menyeleseikan
semuanya. Butuh pemikiran progresif untuk bisa menyeleseikannya. Pemerintah pun
di wajibkan berfikir responsif dan bertindak cepat dan tanggas mengenai
permasalahan yang ada di masyarakat. Agar cita-cita para Founding Father maupun
masyarakat Indonesia dapat tercapai.
Dewasa ini dinamika masyarakat
yang terus bergerak cepat menimbulkan berbagai macam permasalahan baru.
Mandulnya hukum dan menyebarnya iblis-iblis berdasi, negara yang korup, dan
lain-lain menyebabkan terjadinya kerusakan moral yang berdampak pada masyarakat
kecil. Pemerintah yang sejatinya ialah pelayan serta masyarakat sebagai raja
yang harus dilayani oleh pemerintah seolah-olah telah bergeser sebaliknya.
Pemerintah malah menjadi penjahat nyata bagi masyarakat sedangkan masyarakat
dijadikan alat politis bagi para pejabat tersebut. Inilah yang menjadi PR besar
bagi mahasiswa hukum sekarang agar secepatnya memperbaiki kerusakan yang
terjadi baik secara moral maupun sistem itu sendiri.
Maka lebih jelasnya salah satu
permasalahan yang akan penulis uraikan dalam tulisan ini, yaitu mengenai
banyaknya anak jalanan, anak terlantar, maupun anak fakir miskin yang tersebar
di negara ini namun terabaikan oleh pemerintah kita. Menurut pasal 1 ayat (6)
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak maka anak terlantar ialah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara
wajar, baik fisik, mental,spiritual, maupun sosial. Sedangkan dalam Perda Kota
Makassar No. 2 Tahun 2008 pasal 1 huruf m bahwa Anak jalanan merupakan
anak-anak yang beraktifitas di jalanan antara 4-8 jam sehari.
Dari
pengertian di atas maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa anak terlantar maupun
anak jalanan merupakan anak yang betul-betul sangat tidak terpenuhi segala
macam kebutuhannya serta hak-haknya. Dalam UUD NRI 1945 pasal 28-B ayat (2)
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Begitu pula dalam pasal-pasal selanjutnya
meskipun tidak menjelaskan secara rinci mengenai anak namun sangat cukup bahwa
anak pun memiliki hak sebagai warga negara untuk hidup selayaknya di negara
tersebut. Hidup dalam kondisi aman, menempuh pendidikan (pasal 31 ayat(2) UUD
NRI 1945) dan lain-lain.
Maka sangatlah jelas dalam
konstitusi kita begitu tegas menjelaskan poin-poin tersebut khususnya anak.
Permasalahannya ialah sudahkah konstitusi kita di jalankan dengan benar? Sangat
di sayangkan justru semakin lama permasalahan anak-anak tidak mampu dalam hal
ini kurang mendapat perhatian bahkan menjadi prioritas terbelakang. Jangankan
anak-anak yang tidak mampu. Anak-anak yang sekolah pun saat mereka memberikan
prestasi nyata untuk bangsa nyatanya hanya jadi angin lewat saja tak ada sama
sekali penghargaan berlebih bagi mereka, layaknya habis manis sepah dibuang.
Sungguh ironis potret pejabat-pejabat bangsa kita yang hanya tahu bagaimana
cara memakan uang namun tidak tahu bagaimana agar uang tersebut mampu
mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Bagi anak-anak kurang mampu,
pemerintah telah mencarikan solusi dengan program BOS (Bantuan Operasional
Sekolah). Toh ternyata program yang lumayan cukup mampu membantu anak-anak
kurang mampu tersebut ternyata menjadi mesin pengeruk uang para pejabat-pejabat
maupun oknum-oknum sekolah saja. Bayangkan berapa banyak kerugian negara
tersebut dan lagi-lagi anak-anak kaum kecil yang menjadi korban kejahatan
manusia tak bermoral tersebut. Begitupula dengan beasiswa-beasiswa di
sekolah-sekolah, contoh di salah satu sekolah negeri di gowa (di samarkan)
setelah saya menanyakan kepada orang tua siswa serta siswa (saat itu beliau
kelas 2 SMK, sekarang kelas 3 SMK) tersebut ternyata dana sebesar Rp. 700ribu
yang segarusnya ia terima kenyataanya hanya sebesar Rp. 200ribu saja, dengan
berbagai alasan serta prosedur yang berbelit-belit akhirnya sisanya pun tak
sampai di tangannya. Dengan polosnya mereka hanya berkata,”maklum kita hanya
orang kecil saja yahh jadi biarlah seperti itu.”
Sungguh sangat ironis sekali
kondisi moral bangsa kita. Baru-baru ini di Metro TV menyiarkan berita di
daerah Jawa Barat terdapat anak-anak dari desa yang terisolasi beberapa meter
oleh Sungai besar harus menempuh ke sekolah dengan meyeberangi sungai yang
deras dengan memakai rakit yang telah di sambungkan dengan tali panjang ke desa
seberang hanya untuk pergi ke sekolah, begitupun sangat banyak di daerah-daerah
lain yang seperti itu. Maka dimanakah esensi sesungguhnya dari konstitusi kita
maupun peraturan-peraturan di bawahnya yang telah mengatur secara jelas
persoalan ini? apakah aturan tersebut yang merupakan kebijakan dari orang-orang
yang dikatakan terhormat itu, ataukah hanya sekedar pemenuhan kewajiban yang
dampaknya buang-buang uang belaka?
Kita kembali ke permasalahan inti
mengenai anak-anak jalanan maupun anak-anak terlantar yang kian tak terurus
bahkan seolah sampah masyarakat bagi kalangan atas. Maka penulis berpendapat
bahwa butuh solusi jitu agar mereka dapat hidup layak dan mendapat hak-hak mereka.
Bagi penulis dengan mendirikan Sekolah khusus (beserta tempat tinggal dan taman
bermain) maka mereka dapat dididik sebagai penerus bangsa bahkan menurut Ibu
Yani, dosen di fakultas Hukum UIN Alauddin, beliau mengatakan bahwa ini akan
menjadi infestasi besar-besaran sebuah negara di masa depan sebagai sebuah
negara dengan pemikiran cerdas.
Sangat jelas bahwa daripada
menghamburkan uang negara yang tidak jelas dan merugikan negara maka ada
kalanya uang tersebut di jadikan infestasi intelektual dan moril bangsa
tersebut dengan pendidikan yang layak bagi anak-anak yang kurang mampu tersebut
sesuai dengan asas non diskriminasi dan kepentingan yang terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, perkembangan hidup, dan kelangsungannya an lain-lain sesuai dalam
pasal 2 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak maupun ketentuan dalam
pasal 13 ayat (1) serta kewajiban negara dan masyarakat dalam pasal 21-25 UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
Sungguh gagasan ini lebih ideal
ketimbang membuat aturan-aturan tidak jelas mengenai anak jalanan maupun anak
terlantar namun tanpa follow up sekaligus maka pemerintah selaku pelayan
masyarakat niscayanya harus memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya terutama
rakyat kecil. Karena rakyatlah sejatinya ialah raja dalam suatu negara.
Maka akhir dari tulisan ini
penulis ingin mengungkapkan salah satu adagium yang dipopulerkan oleh Ulpian
yang di anggap sebagai prinsip keadilan utama oleh Aristoteles yaitu,” Honeste vivere, alterum non liadere, suum
quiquie tribuere ( Hidup secara
terhormat, tidak menggangu orang lain, dan memberi kepada sesama umat manusia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar