IPPS

IPPS
SC

Sabtu, 08 Juni 2013

SEKOLAH KHUSUS ANAK JALANAN, ANAK TERLANTAR, DAN ANAK FAKIR MISKIN (analisis yuridis dan sosiologis)




Negara didirikan ialah menciptakan negara kesejahteraan dimana esensi masyarakat tertib akan terwujud dalam jagat berhukum di negara tersebut. Terutama Negara Republik Indonesia yang di proklamirkan oleh pejuang-pejuang negeri ini demi terwujudnya negara kesejahteraan dan negara ketertiban  sebagai cita-cita bangsa yang luhur yang termaktub dalam Pancasila dan UUD NRI 1945.

Namun seiring berjalan waktu, Tidak semudah membalikkan telapak tangan maka semuanya tercapai butuh proses panjang membangun bangsa tersebut mencapai cita-citanya. Jalan terjal pun di lalui. Berbagai permasalahan bangsa silih berganti menerpa, dinamika masyarakat dan berbagai macam perkembangan pemikiran  mempengaruhi segalanya. Bahkan hukum pun tidak mampu menyeleseikan semuanya. Butuh pemikiran progresif untuk bisa menyeleseikannya. Pemerintah pun di wajibkan berfikir responsif dan bertindak cepat dan tanggas mengenai permasalahan yang ada di masyarakat. Agar cita-cita para Founding Father maupun masyarakat Indonesia dapat tercapai.

Dewasa ini dinamika masyarakat yang terus bergerak cepat menimbulkan berbagai macam permasalahan baru. Mandulnya hukum dan menyebarnya iblis-iblis berdasi, negara yang korup, dan lain-lain menyebabkan terjadinya kerusakan moral yang berdampak pada masyarakat kecil. Pemerintah yang sejatinya ialah pelayan serta masyarakat sebagai raja yang harus dilayani oleh pemerintah seolah-olah telah bergeser sebaliknya. Pemerintah malah menjadi penjahat nyata bagi masyarakat sedangkan masyarakat dijadikan alat politis bagi para pejabat tersebut. Inilah yang menjadi PR besar bagi mahasiswa hukum sekarang agar secepatnya memperbaiki kerusakan yang terjadi baik secara moral maupun sistem itu sendiri. 

Maka lebih jelasnya salah satu permasalahan yang akan penulis uraikan dalam tulisan ini, yaitu mengenai banyaknya anak jalanan, anak terlantar, maupun anak fakir miskin yang tersebar di negara ini namun terabaikan oleh pemerintah kita. Menurut pasal 1 ayat (6) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak maka anak terlantar ialah  anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental,spiritual, maupun sosial. Sedangkan dalam Perda Kota Makassar No. 2 Tahun 2008 pasal 1 huruf m bahwa Anak jalanan merupakan anak-anak yang beraktifitas di jalanan antara 4-8 jam sehari.

Dari pengertian di atas maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa anak terlantar maupun anak jalanan merupakan anak yang betul-betul sangat tidak terpenuhi segala macam kebutuhannya serta hak-haknya. Dalam UUD NRI 1945 pasal 28-B ayat (2) bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.  Begitu pula dalam pasal-pasal selanjutnya meskipun tidak menjelaskan secara rinci mengenai anak namun sangat cukup bahwa anak pun memiliki hak sebagai warga negara untuk hidup selayaknya di negara tersebut. Hidup dalam kondisi aman, menempuh pendidikan (pasal 31 ayat(2) UUD NRI 1945) dan lain-lain. 

Maka sangatlah jelas dalam konstitusi kita begitu tegas menjelaskan poin-poin tersebut khususnya anak. Permasalahannya ialah sudahkah konstitusi kita di jalankan dengan benar? Sangat di sayangkan justru semakin lama permasalahan anak-anak tidak mampu dalam hal ini kurang mendapat perhatian bahkan menjadi prioritas terbelakang. Jangankan anak-anak yang tidak mampu. Anak-anak yang sekolah pun saat mereka memberikan prestasi nyata untuk bangsa nyatanya hanya jadi angin lewat saja tak ada sama sekali penghargaan berlebih bagi mereka, layaknya habis manis sepah dibuang. Sungguh ironis potret pejabat-pejabat bangsa kita yang hanya tahu bagaimana cara memakan uang namun tidak tahu bagaimana agar uang tersebut mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Bagi anak-anak kurang mampu, pemerintah telah mencarikan solusi dengan program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Toh ternyata program yang lumayan cukup mampu membantu anak-anak kurang mampu tersebut ternyata menjadi mesin pengeruk uang para pejabat-pejabat maupun oknum-oknum sekolah saja. Bayangkan berapa banyak kerugian negara tersebut dan lagi-lagi anak-anak kaum kecil yang menjadi korban kejahatan manusia tak bermoral tersebut. Begitupula dengan beasiswa-beasiswa di sekolah-sekolah, contoh di salah satu sekolah negeri di gowa (di samarkan) setelah saya menanyakan kepada orang tua siswa serta siswa (saat itu beliau kelas 2 SMK, sekarang kelas 3 SMK) tersebut ternyata dana sebesar Rp. 700ribu yang segarusnya ia terima kenyataanya hanya sebesar Rp. 200ribu saja, dengan berbagai alasan serta prosedur yang berbelit-belit akhirnya sisanya pun tak sampai di tangannya. Dengan polosnya mereka hanya berkata,”maklum kita hanya orang kecil saja yahh jadi biarlah seperti itu.”
Sungguh sangat ironis sekali kondisi moral bangsa kita. Baru-baru ini di Metro TV menyiarkan berita di daerah Jawa Barat terdapat anak-anak dari desa yang terisolasi beberapa meter oleh Sungai besar harus menempuh ke sekolah dengan meyeberangi sungai yang deras dengan memakai rakit yang telah di sambungkan dengan tali panjang ke desa seberang hanya untuk pergi ke sekolah, begitupun sangat banyak di daerah-daerah lain yang seperti itu. Maka dimanakah esensi sesungguhnya dari konstitusi kita maupun peraturan-peraturan di bawahnya yang telah mengatur secara jelas persoalan ini? apakah aturan tersebut yang merupakan kebijakan dari orang-orang yang dikatakan terhormat itu, ataukah hanya sekedar pemenuhan kewajiban yang dampaknya buang-buang uang belaka?

Kita kembali ke permasalahan inti mengenai anak-anak jalanan maupun anak-anak terlantar yang kian tak terurus bahkan seolah sampah masyarakat bagi kalangan atas. Maka penulis berpendapat bahwa butuh solusi jitu agar mereka dapat hidup layak dan mendapat hak-hak mereka. Bagi penulis dengan mendirikan Sekolah khusus (beserta tempat tinggal dan taman bermain) maka mereka dapat dididik sebagai penerus bangsa bahkan menurut Ibu Yani, dosen di fakultas Hukum UIN Alauddin, beliau mengatakan bahwa ini akan menjadi infestasi besar-besaran sebuah negara di masa depan sebagai sebuah negara dengan pemikiran cerdas. 

Sangat jelas bahwa daripada menghamburkan uang negara yang tidak jelas dan merugikan negara maka ada kalanya uang tersebut di jadikan infestasi intelektual dan moril bangsa tersebut dengan pendidikan yang layak bagi anak-anak yang kurang mampu tersebut sesuai dengan asas non diskriminasi dan kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, perkembangan hidup, dan kelangsungannya an lain-lain sesuai dalam pasal 2 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak maupun ketentuan dalam pasal 13 ayat (1) serta kewajiban negara dan masyarakat dalam pasal 21-25 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. 

Sungguh gagasan ini lebih ideal ketimbang membuat aturan-aturan tidak jelas mengenai anak jalanan maupun anak terlantar namun tanpa follow up sekaligus maka pemerintah selaku pelayan masyarakat niscayanya harus memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya terutama rakyat kecil. Karena rakyatlah sejatinya ialah raja dalam suatu negara. 

Maka akhir dari tulisan ini penulis ingin mengungkapkan salah satu adagium yang dipopulerkan oleh Ulpian yang di anggap sebagai prinsip keadilan utama oleh Aristoteles yaitu,” Honeste vivere, alterum non liadere, suum quiquie  tribuere ( Hidup secara terhormat, tidak menggangu orang lain, dan memberi kepada sesama umat manusia).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar