IPPS

IPPS
SC

Sabtu, 08 Agustus 2015

Teori-Teori dalam Sistem Pembuktian Hukum Acara Pidana



   
1.  Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction in Time & Conviction Raisonce)
   Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim oleh Lilik Mulyadi dijelaskan bahwa hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam perkembangannya lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai dua bentuk polarisasi, yaitu conviction in time dan conviction raisonce. Dalam hal ini ada dua macam pola pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang akan di bahas satu persatu, yaitu :
1)   Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction in time)
            Melalui sistem pembuktian conviction in time kesalahan terdakwa hanya bergantung pada keyakinan hakim belaka sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan. Dengan demikian putusan hakim di sini tampak timbul nuansa subjektif.
Selanjutnya menurut M. Yahya Harahapdalam sistem pembuktian convection in time terdapat kelemahan, bahwa :
Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa... Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menetukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam sistem pembuktian menurut keyakinan hakim melulu, sistem ini pernah di anut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Dalam sistem ini sangat memungkinkan kepada hakim untuk menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan-keterangan dari medium atau dukun.
Menurut Andi Hamzahpengadilan adat pada dasarnya dalam memutus perkaranya memakai sistem keyakinan hakim melulu (convection in time) yang pada kenyataannya bahwa pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli (berpendidikan) hukum, melainkan hakim-hakim adat setempat.
2)   Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (conviction raisonce)
Dalam sistem conviction raisonce ini hampir sama dengan sistem conviction in time yaitu sama-sama memakai keyakinan hakim dalam memutus salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dan dapat diterima oleh akal dalam mengambil keputusan.
Menurut Lilik Mulyadi, pembuktian conviction in raisonce hampir mirip dengan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie).

2.   Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Positif (positive wettelijke bewijstheorie)
Pada dasarnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif berkembang sejak Abad Pertengahan. Pembuktian menurut undang-undang secara positif sangatlah bertolak belakang dengan pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction in time). Dalam sistem ini keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam pengambilan putusan. Pembuktian ini hanya berpedoman pada alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup untuk untuk menentukan kesalahan terdakwa tanpa melihat keyakinan hakim lagi. Meskipun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidaklah bersalah namun jika alat-alat bukti telah terpenuhi untuk menyatakan terdakwa bersalah, maka terdakwa tetap dinyatakan bersalah.
Dalam sistem pembuktian ini menurut Immanuel Kant, hakim disamakan sebagai mulut undang-undang atau dalam rumusan Kant disebut la bouche de la lois (hakim merupakan mulut undang-undang)  yang tugasnya hanya melaksanakan perintah undang-undang saja tanpa mengganggu gugat substansi dari undang-undang, bahkan hakim harus menuruti secara harfiah apa kata undang-undang (qui les juges suivent la lettre de la lois).
Undang-undang seolah-olah menjadi patokan tertinggi dari rasa keadilan masyarakat, yang dicari hanyalah kepastian undang-undang belaka tanpa melihat aspek keadilan, maupun hati nurani hakim sebagai patokan keadilan dalam masyarakat. Sehingga penerapannya pun sangat sulit untuk mencapai rasa keadilan masyarakat.
3.   Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian convection in time... Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem... menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif... Rumusannya berbunyi : salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Jadi ada dua komponen dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yaitu
a.    Pembuktian dilakukan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
b.    Keyakinan hakim yang didasarkan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
Meskipun menurut sistem pembuktian ini terjadi keseimbangan antara alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dengan keyakinan hakim tetapi secara implementasinya keyakinan hakim berada di ambang klimaks dalam proses memutuskan salah atau tidaknya terdakwa.
MenurutR. Subektibiarpun alat bukti di pakai hingga buktinya bertumpuk-tumpuk, namun jikalau hakim “tidak berkeyakinan” tentang kesalahan terdakwa maka ia tidak boleh menghukum terdakwa tersebut. Jadi dalam sistem ini yang pada akhirnya menentukan nasib terdakwa adalah keyakinan hakim.

 Hal inilah yang merupakan kelemahan dari sistem ini, yaitu apabila melalui alat bukti telah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Pembuktian tersebut dapat dieleminir jikalau tidak terdapat keyakinan hakim. Hal ini bisa menimbulkan peradilan sesat, yaitu jikalau ada permainan dari mafia-mafia hukum untuk mengendalikan kemandirian hakim dengan uang, niscaya hakim pun dapat membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum dengan alasan hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa. Maka dalam sistem pembuktian ini semua bergantung kepada profesionalisme hakim dan kemandirian hakim di lapangan dalam memutus suatu perkara pidana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar