IPPS

IPPS
SC

Senin, 29 Juni 2015

NEGARA HUKUM, NEGARA UNDANG-UNDANG, NEGARA RIBET




Beberapa hari yang lalu saya mendapat tamparan keras berupa pernyataan yang kurang lebih sebahagian salah namun sebahagian benar. Salah karena sesungguhnya teori yang saya pelajari di bangku kuliah mengajarkan nilai-nilai dan azas-azas hukum yang melangit. Benar karena fakta yang berkata demikian. Saat itu kami sedang mendiskusikan tentang pembangunan ekonomi di Indonesia khususnya bagi para pelaku usaha yang baru akan merintis karir usahanya untuk pertama kalinya atau bagi mereka yang ingin memulai usaha baru. Pembicaraan semakin lama semakin memanas dan mengerucut ke arah sulitnya mendirikan usaha bukan karena faktor modal yang begitu besar atau segala tetek bengeknya namun justru momok yang menjadi tembok tembok yang dirasakan oleh pelaku usaha baik yang baru maupun pemain besar, yaitu aturan pemerintah.

Saya masih ingat kalimat-kalimatnya yang membekas di benak, kurang lebih seperti ini, “kenapa Negara ini susah untuk maju, karena Negara ini terlalu ribet. Untuk membangun usaha saja kita sudah di hadang aturan yang bertubi tubi atau seolah olah memasuki ruang labirin yang luas di mana ujung labirin itulah jalan keluar kita menuju usaha yang di cita-citakan. Di mana-mana ada izin yang harus di urus, belum pajak yang terkadang membelenggu pelaku usaha kecil. Ke sana kemari mengurus ini dan itu, bak bola pim pong yang di pukul ke kanan dan ke kiri, segalanya menjadi sulit serba sulit. Ada aturan dari Undang-Undang, lalu ada aturan pelaksananya, belum lagi berhadapan dengan aturan menteri, aturan gubernur, aturan bupati/walikota bahkan aturan-aturan dari tiap dinas terkait. Memangnya semua aturan itu punya siapa sih? Rakyat kecil seperti kita yang tingkat populasinya berbanding sangat jauh dengan jumlah lowongan kerja yang tersedia, belum lagi pemerintah lebih sibuk dalam mempertahankan kuasa politiknya ketimbang mencari jalan keluar dalam permasalahan pengangguran yang kian banyak yang memaksa Negara ini menjadi pengimpor terbesar TKI yang notabene jadi babu di Negara orang  seolah – olah Negara ini justru menjadi penghasil pekerja berat daripada penghasil SDM dan SDA ke luar negeri. Sungguh memalukan seolah-olah yang berkuasa meski bergonta-ganti pemimpin toh tetap saja terbelenggu dengan realita politik yang ada sehingga dia pun lebih sibuk menjaga citra politiknya daripada ngurusin rakyat. Saya bingung dengan Negara ini ketika rakyatnya berbondong-bondong mencari jalan keluar untuk memulai usaha dan membuka lapangan pekerjaan bagi yang lain justru harus berhadapan dengan labirin panjang. Mengapa jika semuanya bisa dipermudah agar perputaran roda ekonomi masyarakat bisa berjalan pesat dan cepat justru tercekik dengan permainan pim pong yang sarat dengan uang? Jika begini terus di kala MEA berlangsung di saat Negara lain tancap gas nah kita masih bingung dengan pesertanya siapa? Pesertanya Terlatih tidak?”

Sontak saya pun bak di sengat listrik mendapat pernyataan dan pertanyaan yang menggugah hati saya sebagai mahasiswa hukum yang notabene sehari-hari mengonsumsi aturan yang begitu banyak hingga bikin mual-mual bahkan gado-gado yang di campur pun terasa hambar sama sekali. Inilah Negara kita Negara dengan segudang aturan perundang-undangan hingga salah satu dosen saya di kelas mengatakan bahwa Negara ini Negara ambigu, saya bilang Negara bingung antara Negara hukum atau Negara undang-undang. 

Sebenarnya gelombang rigyditas aturan hadir bukan karena memang demikian sistemnya tetapi lebih kepada struktur hukum yang cenderung berpola piker rigid. Semua bermuara di sana. Anggota dewan per masa periode berlomba-lomba mengajukan RUU yang masuk dalam prioritas legislasi belum Undang-Undang yang ingin direvisi, masukkan sebanyak-banyaknya semakin banyak semakin bagus semakin banyak semakin berbobot kualitas periode kebersamaan mereka seolah-olah biar mereka dianggap bekerja ketimbang makan gaji buta setidak-tidaknya kewajiban sudah terpenuhi.

Tak heran di Indonesia perilaku ini sudah mendarah daging hingga ke generasi selanjutnya, bila difikir-fikir semua bermula dari sistem pendidikan kita yang bertele-tele. Untuk masuk ke sekolah saja harus berhadapan dengan label unggulan, belum biaya masuk yang mahal. Semakin banyak pendaftar semakin dipersulit langkah mereka memasuki gerbang pendidikan. Mata pelajaran di Negara kita bahkan mencapai angka yang terbanyak, tengok saja di SMP dan SMU saja mata pelajaran bahkan hingga 16-18 mata ajar sedangkan di Negara lain hanya 5-7 mata ajar, secara tidak langsung dengan memperbanyak mata ajar maka memperbanyak beban fikir siswa, belum masalah UN, belum ketika kuliah kewajiban mencapai 124 SKS yang wajib di lulusi dan skripsi yang membebani.  Sebagai mahasiswa tentu saya punya pengalaman saat mengerjakan skripsi dan bisa jadi juga pengalaman yang lain bahkan sudah pasti iya. Saya bahkan menghabiskan waktu selama setahun dalam menyeleseikan skripsi saya waktu itu bukan karena saya yang bodoh tetapi para pembimbing yang mempersulit langkah yang bahkan terkadang dua pembimbing memiliki pandangan yang berbeda, belum lagi tanda tangan-tanda tangan yang melelahkan berminggu-minggu lamanya waktu terbuang sia-sia hanya karena alasan kesibukan para birokrat kampus. Sungguh alangkah baikanya jika waktu setahun itu para pembimbing mengajarkan dan membimbing tidak hanya persoalan skripsi tetapi juga proyeksi masa depan mahasiswa nya agar saat ia lulus nanti dia tersesat saat lulus atau hanya jadi pengangguran belaka, alih-alih begitu untuk minta dibimbing pun mereka bak hantu gentayangan tapi kasat mata.

Dari pengalaman-pengalaman di atas maka bisa kita proyeksikan bahwa Negara ini telah menjadi begitu ribet karena pemahaman dan kultur yang dibangun oleh masyarakatnya telah di mulai sejak masih sekolah. Berkat pengalaman-pengalaman seperti itulah maka tak heran jika kelak ketika besar pasti menjadi pribadi-pribadi yang ribet, senang mempertahankan keadaan yang konvensional ketimbang menghadirkan pembaharuan, pegawai-pegawai lebih asik mempertahankan status quo atau mempertahankan kondisi nyaman ketimbang bergerak melakukan perubahan, perubahan di rasakan sebagai penghalang kenyamanan atau takut jika melakukan perubahan dianggap tidak populer, memperketat segala hal pengurusan, perizinan, pelayanan demi memenuhi kepentingan terselubung, melayani masyarakat bagaikan permainan pim pong yang di pukul ke kanan-kiri entah karena malas atau karena terganggu dengan kenyamanannya. Hal inilah yang disebut oleh Rhenald Kasali, orang-orang seperti ini adalah orang-orang bermental passenger (penumpang) ketimbang orang-orang driver sebagai pembaharu yang bergerak cepat, dinamis dan progresif.

Pada akhirnya untuk menyinggung orang-orang seperti itu saya uraikan sedikit penggalan pemikiran Albert Einstein yang menyatakan “orang-orang yang fikirannya kusut dan kompleks bukanlah orang yang genius. Segala sesuatu harus disederhanakan karena ibarat rumus maka yang kompleks itu justru adalah rumus yang belum selesai.”