Beberapa hari yang lalu saya mendapat tamparan keras
berupa pernyataan yang kurang lebih sebahagian salah namun sebahagian benar.
Salah karena sesungguhnya teori yang saya pelajari di bangku kuliah mengajarkan
nilai-nilai dan azas-azas hukum yang melangit. Benar karena fakta yang berkata
demikian. Saat itu kami sedang mendiskusikan tentang pembangunan ekonomi di
Indonesia khususnya bagi para pelaku usaha yang baru akan merintis karir
usahanya untuk pertama kalinya atau bagi mereka yang ingin memulai usaha baru.
Pembicaraan semakin lama semakin memanas dan mengerucut ke arah sulitnya
mendirikan usaha bukan karena faktor modal yang begitu besar atau segala tetek
bengeknya namun justru momok yang menjadi tembok tembok yang dirasakan oleh
pelaku usaha baik yang baru maupun pemain besar, yaitu aturan pemerintah.
Saya masih ingat kalimat-kalimatnya yang membekas di
benak, kurang lebih seperti ini, “kenapa Negara ini susah untuk maju, karena
Negara ini terlalu ribet. Untuk membangun usaha saja kita sudah di hadang
aturan yang bertubi tubi atau seolah olah memasuki ruang labirin yang luas di
mana ujung labirin itulah jalan keluar kita menuju usaha yang di cita-citakan.
Di mana-mana ada izin yang harus di urus, belum pajak yang terkadang
membelenggu pelaku usaha kecil. Ke sana kemari mengurus ini dan itu, bak bola
pim pong yang di pukul ke kanan dan ke kiri, segalanya menjadi sulit serba
sulit. Ada aturan dari Undang-Undang, lalu ada aturan pelaksananya, belum lagi
berhadapan dengan aturan menteri, aturan gubernur, aturan bupati/walikota
bahkan aturan-aturan dari tiap dinas terkait. Memangnya semua aturan itu punya
siapa sih? Rakyat kecil seperti kita yang tingkat populasinya berbanding sangat
jauh dengan jumlah lowongan kerja yang tersedia, belum lagi pemerintah lebih
sibuk dalam mempertahankan kuasa politiknya ketimbang mencari jalan keluar
dalam permasalahan pengangguran yang kian banyak yang memaksa Negara ini
menjadi pengimpor terbesar TKI yang notabene jadi babu di Negara orang seolah – olah Negara ini justru menjadi
penghasil pekerja berat daripada penghasil SDM dan SDA ke luar negeri. Sungguh
memalukan seolah-olah yang berkuasa meski bergonta-ganti pemimpin toh tetap
saja terbelenggu dengan realita politik yang ada sehingga dia pun lebih sibuk
menjaga citra politiknya daripada ngurusin rakyat. Saya bingung dengan Negara
ini ketika rakyatnya berbondong-bondong mencari jalan keluar untuk memulai
usaha dan membuka lapangan pekerjaan bagi yang lain justru harus berhadapan
dengan labirin panjang. Mengapa jika semuanya bisa dipermudah agar perputaran
roda ekonomi masyarakat bisa berjalan pesat dan cepat justru tercekik dengan
permainan pim pong yang sarat dengan uang? Jika begini terus di kala MEA
berlangsung di saat Negara lain tancap gas nah kita masih bingung dengan
pesertanya siapa? Pesertanya Terlatih tidak?”
Sontak saya pun bak di sengat listrik mendapat
pernyataan dan pertanyaan yang menggugah hati saya sebagai mahasiswa hukum yang
notabene sehari-hari mengonsumsi aturan yang begitu banyak hingga bikin
mual-mual bahkan gado-gado yang di campur pun terasa hambar sama sekali. Inilah
Negara kita Negara dengan segudang aturan perundang-undangan hingga salah satu
dosen saya di kelas mengatakan bahwa Negara ini Negara ambigu, saya bilang
Negara bingung antara Negara hukum atau Negara undang-undang.
Sebenarnya gelombang rigyditas aturan hadir bukan
karena memang demikian sistemnya tetapi lebih kepada struktur hukum yang
cenderung berpola piker rigid. Semua bermuara di sana. Anggota dewan per masa
periode berlomba-lomba mengajukan RUU yang masuk dalam prioritas legislasi
belum Undang-Undang yang ingin direvisi, masukkan sebanyak-banyaknya semakin
banyak semakin bagus semakin banyak semakin berbobot kualitas periode
kebersamaan mereka seolah-olah biar mereka dianggap bekerja ketimbang makan
gaji buta setidak-tidaknya kewajiban sudah terpenuhi.
Tak heran di Indonesia perilaku ini sudah mendarah
daging hingga ke generasi selanjutnya, bila difikir-fikir semua bermula dari
sistem pendidikan kita yang bertele-tele. Untuk masuk ke sekolah saja harus
berhadapan dengan label unggulan, belum biaya masuk yang mahal. Semakin banyak
pendaftar semakin dipersulit langkah mereka memasuki gerbang pendidikan. Mata
pelajaran di Negara kita bahkan mencapai angka yang terbanyak, tengok saja di
SMP dan SMU saja mata pelajaran bahkan hingga 16-18 mata ajar sedangkan di
Negara lain hanya 5-7 mata ajar, secara tidak langsung dengan memperbanyak mata
ajar maka memperbanyak beban fikir siswa, belum masalah UN, belum ketika kuliah
kewajiban mencapai 124 SKS yang wajib di lulusi dan skripsi yang
membebani. Sebagai mahasiswa tentu saya
punya pengalaman saat mengerjakan skripsi dan bisa jadi juga pengalaman yang
lain bahkan sudah pasti iya. Saya bahkan menghabiskan waktu selama setahun
dalam menyeleseikan skripsi saya waktu itu bukan karena saya yang bodoh tetapi
para pembimbing yang mempersulit langkah yang bahkan terkadang dua pembimbing
memiliki pandangan yang berbeda, belum lagi tanda tangan-tanda tangan yang
melelahkan berminggu-minggu lamanya waktu terbuang sia-sia hanya karena alasan
kesibukan para birokrat kampus. Sungguh alangkah baikanya jika waktu setahun
itu para pembimbing mengajarkan dan membimbing tidak hanya persoalan skripsi
tetapi juga proyeksi masa depan mahasiswa nya agar saat ia lulus nanti dia
tersesat saat lulus atau hanya jadi pengangguran belaka, alih-alih begitu untuk
minta dibimbing pun mereka bak hantu gentayangan tapi kasat mata.
Dari pengalaman-pengalaman di atas maka bisa kita
proyeksikan bahwa Negara ini telah menjadi begitu ribet karena pemahaman dan
kultur yang dibangun oleh masyarakatnya telah di mulai sejak masih sekolah.
Berkat pengalaman-pengalaman seperti itulah maka tak heran jika kelak ketika
besar pasti menjadi pribadi-pribadi yang ribet, senang mempertahankan keadaan
yang konvensional ketimbang menghadirkan pembaharuan, pegawai-pegawai lebih
asik mempertahankan status quo atau mempertahankan kondisi nyaman ketimbang
bergerak melakukan perubahan, perubahan di rasakan sebagai penghalang
kenyamanan atau takut jika melakukan perubahan dianggap tidak populer,
memperketat segala hal pengurusan, perizinan, pelayanan demi memenuhi
kepentingan terselubung, melayani masyarakat bagaikan permainan pim pong yang
di pukul ke kanan-kiri entah karena malas atau karena terganggu dengan
kenyamanannya. Hal inilah yang disebut oleh Rhenald Kasali, orang-orang seperti
ini adalah orang-orang bermental passenger (penumpang) ketimbang orang-orang driver
sebagai pembaharu yang bergerak cepat, dinamis dan progresif.
Pada akhirnya untuk menyinggung orang-orang seperti
itu saya uraikan sedikit penggalan pemikiran Albert Einstein yang menyatakan
“orang-orang yang fikirannya kusut dan kompleks bukanlah orang yang genius.
Segala sesuatu harus disederhanakan karena ibarat rumus maka yang kompleks itu
justru adalah rumus yang belum selesai.”