A. Latar Belakang
Asas Legalitas dalam hukum pidana
Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi “Geen feit is
strafbaar dan uit kracht van eene daaran voorafgegane wettelijk starfbepaling”.
Pasal ini oleh Engelbrecht diterjemahkan menjadi “Tiada suatu perbuatan yang
boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang
mendahului perbuatan itu.” Kemudian oleh Tim penerjemah BPHN diterjemahkan
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada “.
Asas
legalitas tersebut, dalam ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah “nullum
delictum nulla poena sine pravia lege Poenali. Asas nulla poena mula-mula diperkenalkan oleh
Montesquieu, kemudian Rousseau, dan Beccaria. Oleh Paul Johann Anseln von
Feurbach, dirumuskan dalam bahsa latin “ nullum crimen, nulla poena sine pravia
lege poenali
Asas tersebut,
saat ini sudah diterima oleh sebagian besar negara –negara Eropa dengan
mencantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana negaranya masing-masing. Di
negara Anglo Saxon, asas Legalitas diterima dalam doktrin :Actus non facit renum nisi means sit rea (an act does not itself contitute
guilt unless the mind is guity), sebagai hukum tidak tertulis, dan terwujud
dalam praktek pengadilan. Namun demikian, di negara-negara yang pemerintahnya
bersifat totalitery asas legalitas tidak dapat diterima. Secara internasional,
asas legalitas sudah diakuisecara internasional, yaitu dengan dicantumkannya
dalam pasal 7 Perjanjian Roma 1950, Sebagai berikut :
- No one shall be held guilty of any
criminal offence on account of any fact or ommission which did not
constitute a criminal offence under national or international law at the
time when it was commited nor shall a heavier penalty be imposed than the
one that was applicable at the time the criminal ofence was commited.
- This article shall not prejudice
the trial and punishment of any person for any act or omission which at
the time when it was commited, was criminal according to the general
principles of law recoonized by civilized nations.
Perkembangan asas legalitas tersebut di
muka ternyata memang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh faktor-faktor yang
ada dalam masyarakat suatu negara.
Asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP, mengandung tiga asas yang penting yaitu :
- Hukum pidana yang berlaku di
negara kita merupakan suatu hukum tertulis.
- Undang-undang pidana berlaku di
negara kita tidak dapat diperlakukan surut.
- Penafsiran secara analogis tidak
boleh dipergunakan dalam penafsiran undang-undang pidana.
B.
Sejarah
lahirnya Asas Legalitas
Pada Zaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria, yang berarti
kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika hukum Romawi
kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal
extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja yang
berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan yang
dikatakan jahat, namun belum diatur di dalam undang-undang.
Lahirnya Magna Charta
Libertatum di Inggris pada 1215 merupakan salah bentuk
reaksi terhadap praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase
pertama ketika manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai
manusia. Upaya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya telah ada
sebelum lahirnya Magna Charta. Kitab suci agama Hindu, Veda, telah membicarakan
perlunya penghormatan atas hak-hak asasi manusia sejak 3000 tahun yang lalu.
Piagam Madinah yang ditandatangani Nabi Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi bahkan sebenarnya merupakan deklarasi kesepakatan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia.
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari
lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan
rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad
Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih
dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah
perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas
yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat
berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan
yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya
dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan
kepentingan rakyat dengan kekuasaan raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal
dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya
perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan
dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada
putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di
Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu
singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak
dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum.
Asas-asas hukum ini
dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jaminan
kepastian hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John
Locke (1760).
Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian berkembang hingga ke
Perancis, sebagai bentuk perlawanan atas kesewenag-wenangan raja Louis XIV,
dengan simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan raja yang despotis.
Perjuangan rakyat Perancis dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka
Abad Pencerahan, Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau
(1712-1778). Montesquieu lewat bukunya L’esprit
des Lois (1748) dan bukunya Rousseau “Dus
Contrat Social, ou principes du droit politique” (1762) memperkenalkan
pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let’s
ces moi, yang didengungkan Raja Louis.
Selain dipengaruhi oleh kedua filsuf tersebut perkembangan asas legalitas
di Perancis juga dipengaruhi oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat George
Washington, yang membawa pemikiran asas legalitas dari Amerika ke Perancis. Di
Amerika, ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau
ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam,
peraturan perundang-undangan. Pemikiran asas legalitas kemudian
diimplementasikan sebagai undang-undang dalam Pasal 8 Declaration
des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis
pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah
bahwa “ Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu
wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.” Beccaria, dalam “Dei delitti e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari
perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat suatu
hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan jelas dan
tegas, sehingga bisa memberi petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana.
Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman,
merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla
poena sine praevia lege poenali.”
Bahwa tidak delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini
terkandung dalam bukunya Lehrbuch des
peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas yang
dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian:
1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam
undang-undang.
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).
Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi
Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang
berbunyi: “No bill of attainder or
ex post pacto law shall be passed”.
Lalu diikuti oleh Perancis di dalam Declaration
des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya ketentuan ini
diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental
–kepastian hukum dijunjung tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai dari
asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan
dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi
pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law. Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam
melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari
pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti
perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan
asas legalitas. E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan
kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan
dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak
tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas
ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan),
bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap
kejahatan karena tercela).
C.
Kelemahan Asas Legalitas sebagai tujuan
Kepastian hukum
Penulis
sudah menjelaskan tadi di atas bahwa adanya Asas legalitas dalam hukum membuat
hukum tersebut tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Bahkan E Utrecht
sendiri mengatakan bahwa adanya asas legalitas berarti membuat substansi dari
hukum itu menjadi kaku. Pergeseran paradigma mengenai kejahatan telah terjadi
di sini. Substansi sesungguhnya dari kejahatan yang berupa perbuatan tercela ( mala ini se ) telah bergeser dengan
paradigma bahwa kejahatan itu dikenal karena di atur dalam peraturan
perundang-undangan ( mala in prohibita ).
Jelas
terjadi kekacauan dalam berhukum. Bahwa kejahatan dinilai lewat adanya
peraturan perundang-undangan. Bahkan kejahatan tersebut di dianggap ada dan di
defenisikan adanya dalam sebuah aturan perundang-undangan. Inilah kerancuhan
dalam pemikiran para juris di negara-negara penganut asas legalitas termasuk
Indonesia.
Kelemahan
lain ialah bahwa adanya asas legalitas menjadikan aturan yang dibuat bersifat
kaku dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Aturan yang dibuat pun hanya
mampu bertahan beberapa tahun bahkan cukup singkat dikarenakan aturan tersebut
harus direvisi terus menerus. Begitu cepat dan pesat bergeraknya perkembangan
masyarakat tak mampu dijangkau oleh aturan yang kaku. Bahkan muncul adagium di
telinga para juris bahwa “lex dura sed
tamen scripta” (hukum yang tertulis itu kaku, dan begitulah bentuknya).
Maka sangat angkuh ketika kita berani
mengatakan bahwa persoalan di jagat hukum terutama dalam ranah pidana bahwa
persoalan sosial apapun mampu diatasi dengan
memunculkan suatu teori yang diyakini
paling mutakhir namun banyak aspek-aspek yang mesti kita teliti akan
penerapannya dalam dunia berhukum.
Kelemahan-kelemahan
lain dalam Asas legalitas masih sangat banyak untuk dijelaskan dalam makalah
ini namun penulis lebih memilih untuk menjelaskan mengenai permasalahannya
dengan teori lain melalui poin-poin di bawah nanti melalui. Begitu luasnya
jagat ilmu hukum maka apapun teori mengenainya pasti akan sangat luas
pengkajiannya oleh para juris.
D.
Mengenai Eksistensialitas Asas Legalitas dalam
Jagat Hukum
Kontroversi menjadi sering mencuat dipermukaan
tentang berbagai masalah tersebut. Beberapa pendapat keberatan dianutnya asas
tersebut di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya
dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut. Begitu pula
asas tersebut menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan
akan hidup. Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP
Indonesia merupakan dilema, karena memang dilihat dari segi yang satu tentang
hukum adat yang masih hidup dan mengenai Kepastian hukum dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari
penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai Negara
berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang
kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.
Pengungkapan media yang berlebihan akan
menibngkatkan tekanan publik yang demikian besar. Sehingga beban kemasyarakatan
dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat akibat perubahan dan perkembangan
masyarakat dewasa ini khususnya di bidang hukum dan keadilan, perlu diimbangi
dengan sikap tanggap untuk lebih memantapkan prinsip “kembali pada hukum,
keadilan dan kemanusiaan” secara proposional
1.
Perdebatan
mengenai RKUHP
Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas
telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek
van
Straftrecht (WvS).
Asas legalitas pada dasarnya menghendaki: (i) perbuatan yang dilarang harus
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (ii) peraturan tersebut harus
ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan.
Tetapi,
adagium nullum delictum,nulla poena sine praevia lege poenali telah
mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 Rancangan KUHP
berikut ini:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana
atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah
ditetapkan sebagai tindak pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak
pidana dilarang menggunakan
analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang
undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila
dan/atau prinsip-prinsip hukum umum
yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa.
Sebagian ahli hukum pidana menganggap
bahwa pengaturan tersebut merupakan perluasan dari asas legalitas. Tetapi,
sebagian lagi menganggap pengaturan tersebut sebagai kemunduran, terutama bunyi
Pasal 1 ayat (3). Akibatnya, timbul perdebatan di antarapara yuris Indonesia,
bahkan yuris Belanda. Perdebatan ini seolah mengulang perdebatan lama ketika
Kerajaan Belanda akan memberlakukan KUHP di Hindia Belanda, yaitu apakah akan
diberlakukan bagi seluruh lapisan masyarakat di Hindia Belanda atau tidak.
Namun,Van Vollenhoven menentang keras jika KUHP diberlakukan juga kepada
pribumi.
Pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan
KUHP kontradiktif dengan Pasal 1 ayat (2) yang melarang penggunaan analogi.
Padahal Pasal 1 ayat (3), menurut Prof. Andi Hamzah,merupakan analogi yang
bersifat gesetz analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang sama
sekali tidak terdapat dalam hukum pidana.
2.
Antara Kepastian Hukum
dan Tujuan Keadilan
Berbagai kasus hukum Bibit Chandra
dan Minah pencuri Kakao yang dihukum 6 bulan menghangatkan perbincangan hukum
di anatara masyarakat. Tampaknya kepercayaan terhadap penegak hukum sudah dalam
titik nadir. Orang miskin terlalu mudah mendapatkan hukuman orang kaya sulit
mendapatkan hukuman.
Memang
hukum harus berkeadilan tetapi keadaan abnormal ini akhirnya jadi kebablasan.
Para pencuri baik miskin atau kaya dianggap wajar. Bila hukum semakin tidak
dipercaya kekacauan tinggal menunggu waktu
Tidak ada yang lebih jahat ketimbang penegakan hukum tanpa
keadilan. Hukum tanpa keadilan ibarat tubuh tak bernyawa. Pasal-pasal pada
secarik kertas tidak bermakna apa-apa. Pasal-pasal mati. Keadilan lebih
dari sekadar nyawa bagi dokumen hukum. Institusi penegak hukum pun sepatutnya
bernyawakan keadilan. Semua proses yang terjadi pada institusi itu harus
bernapaskan keadilan. Proses yang terjadi bukan sekadar memenuhi proseduralitas
dan formalitas legal. Formalitas dan proseduralitas legal sekadar sarana
bagi keadilan. Apabila sarana itu dipakai untuk melukai rasa keadilan, tidak
ada pilihan lain: keputusan politik harus dijatuhkan berdasar doktrin
kedaruratan
Tertib sosial hanya dapat tercipta apabila
hukum dibangun dengan kesadaran dan tanggungjawab moral untuk membela keadilan.
Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimnya, maka hukum hanya akan terperosok
menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa
terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Tak salah kalau Aristoteles
melihat bahwa keadilan merupakan keutamaan yang lengkap dibandingkan dengan
keutamaan lainnya. Menegakkan keadilan dalam hukum merupakan tugas krusial
lembaga negara dalam menegakkan hakekat keadilan itu sendiri dan menegakkan
cahaya hakekat kebenaran yang akan memancar menebarkan kedamaian dan ketertiban
sosial.
3.
Asas
Retroaktif VS Asas Non Retroaktif (legalitas)
Sampai sekarang yang dikenal dengan kejahatan internasional adalah
kejahatan bajak laut dan bentuk kejahatan yang disebutkan dalam statuta
pembentukan International Criminal
Court (ICC), yaitu melipuiti: Kejahatan genosida,
Kejahatan terhadap kemanusian, Kejahatan perang, Kejahatan melancarkan perang
agresi. Dalam ketentuan hukum internasional, konsep pemberlakuan asas
retroaktif hanya boleh diterapkan terhadap bentuk-bentuk kejahatan
internasional, yaitu bentuk-bentuk kejahatan yang telah disebutkan dalam
statuta pembentukan Mahkamah Pidana Internasional.
Pemberlakuan asas retroaktif (penyimpangan terhadap asas
legalitas) sejatinya bukan hal baru dalam dunia hukum. Proses peradilan
penjahat perang Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Rwanda (1993) dan Yugoslavia
(1996) dan kasus Amrozi cs di Bali (2002) adalah deretan contoh pemberlakuan asas berlaku surut untuk menyeret
para tersangka ke depan meja hijau. Penerapan asas retroaktif secara terbatas
ini jelas membuktikan bahwa asas hukum non-retroaktif bukan lagi asas hukum
yang bersifat universal. Indonesia sebagai negara yang menempatkan prinsip legalitas
dapat menerapkan asas retroaktif dalam suatu kasus pidana yang memiliki kekecualian
dalam sifatnya. Misalnya, diterapkan terhadap kasus dalam hukum pidana yang
berkaitan dengan kejahatan yang dinamakan extra ordinary crime (kejahatan Luar biasa) atau kejahatan yang tidak ada pengaturannya
dalam hukum tertulis. Asas retroaktif juga diterapkan terhadap kasus yang
mengakibatkan pembalasan atau asas (lex talionis), tidak adanya kepastian hukum dan dikhawatirkan dapat
menimbulkan kesewenangan dari pelaksana hukum dan elite politik dengan akibat
eksesif adanya suatu balas dendam politik, yang berakibat chaos-nya suatu negara.
4.
Munculnya Asas
Oportunitas
Asas oportunitas, Yaitu suatu asas yang memberikan hak, baik
kepada kepolisian maupun kejaksaan, untuk kepentingan umum dan sangat perlu,
dapat mengesampingkan suatu perkara. Dengan asas dimaksud perkara tersebut
tidak sampai pada tahap penuntutan oleh kejaksaan. Yang menjadi persoalan
kemudian adalah, dalam batasan “apa” dan “bagaimana” suatu perkara dapat
diklasifikasikan sebagai perkara yang mengandung kepentingan umum.
Terkait kasusnya Soeharto adalah suatu masalah
yang pelik. Namun, dengan kondisi Soeharto yang demikian, tidaklah mungkin ia
dapat di dudukkan di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Sebab, bagaimanapun
kejamnya hukum pidana, ia masih bersifat manusiawi. Selain itu, dalam standar
universal peradilan pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, seseorang
yang sedang sakit berat tidak mungkin dihadapkan di persidangan.
kasus Soeharto sebagaimana diusulkan sebagian
orang, sulit menemukan alasan tepat untuk mengesampingkan penuntutan terhadap
Soeharto. Secara garis besar hanya dapat dilakukan dengan 3 kemungkinan. Apakah
dengan menghentikan penuntutan, menutup perkara demi kepentingan hukum, atau
dengan menggunakan asas oportunitas Pertama, penghentian penuntutan hanya dapat dilakukan jika
perkara itu kurang bukti atau bukan perkara pidana. Dalam kasus Soeharto,
perkara telah dilimpahkan ke pengadilan. Artinya dari sudut pandang jaksa
penuntut umum, perkara memiliki bukti memadai untuk membuktikan dakwaan
terhadap Soeharto. Kedua, menutup perkara demi hukum hanya jika terjadi nebis in idem, perkara itu kedaluwarsa
atau terdakwa meninggal dunia. Lalu keadilan masyarakat dikorbankan dan
kesungguhan pemerintah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme seperti
tertuang dalam Tap MPR XI/MPR/1998 patut dipertanyakan. Dan kemungkinan ketiga
adalah menggunakan asas oportunitas, yaitu mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum.
Dalam konteks hukum acara
pidana, asas oportunitas ini merupakan pengecualian dari asas legalitas yang
berarti, tiap perbuatan pidana harus dituntut.
5. Peradilan Adat
Dalam
dimensi kedaerahan, masih sering kita jumpai masyarakat setempat menggunakan
hukum adat sebagai konteks utama cara berhukum mereka. Hal ini memang sesuai
dengan kondisi budaya ketimuran yang memang benar-benar melekat dalam tubuh
bangsa Indonesia ini. Tak dapat dipungkiri negara Indonesia yang terdiri dari
ragam kemajemukan yang heterogen punya adat-adat yang sangat beragam macamnya, inilah
khazanah budaya (local knowledge)
sebagai heritage bangsa. Nah apa hubungannya dengan asas legalitas?
Sebagai
negara hukum yang berpusat pada aturan kenegaraan yang berdaulat, maka hukum
kita sama sekali memakai hukum-hukum tertulis sebagai landasan pacu berbangsa
dan bernegara, maka asas legalitas menguatkan hal itu dimana aturan
sesungguhnya yang dipakai ialah aturan-aturan tertulis (undang-undang) tapi bagaimana dengan hukum-hukum adat?
Meskipun
negara kita ialah negara berbasis Eropa Kontinental, toh negara kita tak bisa
dilepas oleh peran hukum-hukum adat sertalembaga-lembaga adat dalam menjaga
moralitas bangsa. Menurut hemat saya, hukum adatb tetaplah mesti dipertahankan
sebagai kultur moralitas bangsa yang berakar pada bhinneka tunggal ika. Tengoklah
daerah Kajang, Bulukumba yang masih mempertahankan adatnya, di Bali misalnya
ada komunitas pecalang sebagai hukum adat mereka, di daerah Sabu pun mereka
punya lembaga-lembaga adat, di Yogyakarta, Papua, Aceh, dll serta di
daerah-daerah lain. Hakikatnya ialah hukum merupakan filosofi moral berbangsa,
maka hukum adat sangat memegang teguh peranan tersebut. Mengkhianati budaya
serta hukum adat bangsa maka sama halnya dengan menghancurkan peradaban bangsa
itu sendiri. bagaiamanpun hukum adat tetaplah harus dipertahankan dan mesti
diakui oleh negara sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.
Kesimpulan
Dari penjelasan panjang di atas maka penulis hanya ingin
menggores pena sedikit akan permasalahan di atas. Tanpa teori yang jelas maka
penulis menarik kesimpulan lewat berbagai macam literatur dan buku-buku
mengenai hal tersebut bahwa Asas legalitas muncul demi memperkuat salah satu
Tujuan hukum yaitu tujuan Kepastian Hukum tanpa melihat dua manfaat yang lain
yaitu Kemanfaatan dan Keadilan maka jelaslah bahwa perlu adanya perbaikan yang
fundamental secara keseluruhan mengenai Asas tersebut. Begitu kentalnya doktrin
asas tersebut menjadikan para hakim lebih menjadi corong Undang-undang seperti
ilmuwan yang menciptakan asas tersebut yaitu Montesquieu maka substansi dan
tujuan munculnya asas ini oleh pembuatnya ialah anjuran kepada hakim agar hanya
sebagai penyambung lidah dari undang-undang saja tidak lebih dari itu.
Jelas substansi dan tujuan asas tersebut tidak dapat lagi
dijadikan doktrin bagi para juris. Bahwa inti dari munculnya pengadilan ialah
untuk menghasilkan keadilan secara substantif bagi masyarakat bukan keadilan
secara undang-undang. Dan akhirnya tujuan akhir dari dunia hukum kita untuk
masyarakat ialah menciptakan negara hukum yang membahagiakan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang
Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, (Jakarta: Ghalia Indonesia),
Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, (Jakarta: Rineka
Cipta),
19
Februari 2005, dikutip dari Muladi, 2002.
P.A..F. Lamintang 1984 Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru
Romli Atmasasmita 1989 Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : Yayasan LBH
Indonesia.
Ali Achmad, 2011, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) &
Teori Peradilan (Judicialprudence), Jakarta
: Kencana
Rahardjo Satjipto, 2010, Biarkan
hukum Mengalir, Jakarta: Kompas
Rahardjo Satjipto, 2010, Membedah Hukum Progresif , Jakarta: Kompas
Rahartjo Satjipto, 2010, Negara Hukum yang membahagiakan masyarakat, Jakarta: Kompas