IPPS

IPPS
SC

Kamis, 29 November 2012

Kontroversi Putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 tentang Anak di Luar Nikah


Baru-baru ini dunia hukum di Indonesia digemparkan oleh Putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 dimana anak yang lahir di luar nikah tetap memiliki hubungan keperdataan (hukum) dengan bapaknya yang mampu dibuktikan secara biologis dan tekhnologi. Hal ini buntut dari permasalahan antara Machica Mochtar (penyanyi dangdut) dengan keluarga besar Moerdiono yang merupakan mantan Mensesneg (era Orde Baru). 


Machica yang merupakan pemohon Uji Materi atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1). Dalam pasal 2 ayat (2) yang mengatur bahwa “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku”. Dan Pasal 43 ayat (1) yang mengatur bahwa : “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.


Menurut pengusul uji materil. Kedua pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B ayat (1) dan (2) serta pasal 28D ayat (1). Pasal 28B ayat (1) “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 28B ayat (2) : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Sedangkan pasal 28D ayat (1) berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.


Sudah sangat jelas bahwa putusan Mk ini terbilang progresif di tengah tekanan dan kerasnya arus dinamika masyarakat. Kita sudah sangat mengetahui bahwa doktrin dan pemahaman yang muncul dalam benak masyarakat umum mengenai anak yang lahir di luar nikah sangat berimplikasi pada kehidupan anak tersebut. Begitu kejam dan keras stigma yang terbagun mengenai status anak tersebutlah sehingga timbul ketidakadilan dalam terhadap anak tersebut. Hal ini menjadi landasan berpijak para hakim MK yang diketuai Mahfud MD untuk merumuskan suatu gagasan maupun cara berfikir dan bertindak responsif mengenai permasalahan yang ada di masyarakat tersebut.


Meskipun kontroversi dan polemik yang terjadi di kalangan masyarakat, toh putusan MK tersebut sebenarnya bukan menjadi alasan dikarenakan seorang Machica saja yang menjadi aktor utamanya. Namun isi putusan tersebut bermakna keadilan bagi perempuan-perempuan seperti machica-machica lain di luar sana yang kerap mendapat ketidakadilan, dampaknya jelas bahwa anaklah yang menjadi sasaran ketidakadilan tersebut. Ini pun menjadi langkah maju dalam dunia hukum di Indonesia mengenai kaum-kaum lelaki maupun perempuan untuk tidak melakukan perzinahan di luar nikah karena danya beban pertanggung jawaban yang wajib di jalankan oleh kedua belah pihak. Dan mempertegas diadakannya revisi KUHP yang jelas-jelas sudah tidak sesuai dengan kondisi kekinian dimana konteks perzinahan dalam KUHP hanya mencakup mereka yang telah memiliki keluarga (selingkuh). 


Terlepas dari kasus Machica dan Keluarga besar Moerdiono, maka penulis akan menguraikan substansi pokok yang dinilai oleh penulis merupakan tindakan progresif dalam isi putusan tersebut. 


1.     Bahwa anak merupakan aset berharga dari sebuah keluarga (orang tua). Dimana ketika Tuhan telah menumbuhkan benih dalam rahim seorang wanita serta telah meniupkan rohnya ke dalam benih tersebut maka secara tidak langsung Tuhan telah membebankan sebuah tanggung jawab dan amanah kepada kedua orang tuanya untuk bertanggung jawab


2.    Bahwa tidak ada kata “anak haram” dalam istilah kehidupan kita. dalam semua agama maupun hukum pun tidak ada yang membenarkan istilah anak haram yang melekat dalam diri anak yang lahir di luar nikah. Bahkan ketika Tuhan telah menciptakan anak tersebut dari dalam rahim ibu dan meniupkan roh ke dalamnya maka anak tersebut merupakan bukti akan kasih sayangnya terhadap umat manusia. Sungguh semua anak adalah suci bersih, tak ada dosa 1 titik pun pada mereka, sehingga yang haram dalam hal ini hanya perbuatan kedua orangtuanya maka patut bagi mereka agar mempertanggungjawabkannya secara agama maupun hukum.


3.    Bahwa semua agama tidak ada yang mebenarkan perzinahan yang terjadi (di luar nikah) karena dampak terbesar (sebelum putusan MK ini) ialah terbengkalainya status sosial seorang anak yang secara hukum tidak bisa di akui oleh negara (pasal 250 BW Indonesia) serta mendapat harta warisan (pasal 869 BW Indonesia) kecuali setelahnya diadakan perkawinan secara sah (pasal 272 BW Indonesia) 


4.    Bahwa jelas ketidakadilan terbesar ketika anak biologis tak di akui oleh negara ialah ketidakadilan bagi para perempuan serta akan berdampak psikologis bagi anak tersebut. Hal ini justru menyuburkan sikap semena-mena para lelaki. Padahal dia juga yang telah menumbuhkan benih tersebut lalu pergi begitu saja. Inilah kenyataan yang sering terjadi bahkan sangat umum terjadi, kisah Machica hanya satu dari sekian ribu wanita yang diperlakukan sama oleh para lelaki. 


5.    Bahwa dengan adanya putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 tentang anak di luar nikah yang di akui secara biologis sangat jelas sangat menjunjung tinggi asas Equality before the Law  (persamaan di depan hukum)  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru yang meliputi 5 (lima) hal, salah satu diantaranya adalah prinsip persamaan dihadapan hukum, berlakunya persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law) dalam negara hukum bermakna bahwa Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara. Dengan demikian Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan


6.    Bahwa dengan adanya Putusan tersebut dimana putusan tersebut lebih bersifat menciptakan hukum (norma) yang patut untut di taati dan konsekuensi logis bagi pemerintah (khususnya Mendagri) untuk melakukan penerbitan akta kelahiran, sebagai diakuinya status keperdataan mereka  sebagai bagian dilindunginya hak-hak anak tersebut oleh hukum. Bukan malah hukum yang mendiskriminasi mereka.


Sudah sangat jelas mengenai substansi pokok yang di uraikan oleh penulis di atas maka Putusan MK tersebut sudah merupakan solusi yang tepat mengingat dampak positifnya ke depan begitu besar, tidak hanya bagi masyarakat melainkan bagi Pemerintah agar lebih memperhatikan masyarakat dengan cara :


1.     Membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan kondisi masyarakat serta dengan tujuan untuk ketertiban dan kesejahteraan.
2.    Membuat peraturan-peraturan yang melindungi hak-hak kemanusiaan, bukan malah menyebabkan permasalahan panjang karena adanya diskriminasi di dalam hukum
3.    Merevisi peraturan-peraturan yang di anggap tidak mampu lagi mengikuti perkembangan masyarakat.
4.    Melayani dan mengayomi masyarakat.
Maka solusi yang tepat harus didukung dengan tujuan yang tepat sasaran pula, maka tujuan terbesar dari adanya Putusan MK tersebut sudah terangkung dalam tulisan di atas.
Masih banyak lagi yang penulis ingin tuliskan dalam lembaran singkat ini, namun apa gunanya sebuah tulisan jika tak mampu di renungkan dan di implementasikan, maka tulisan tersebut bak sampah yang hanya memperbanyak kertas-kertas di bumi ini namun begitu berharganya kertas ini jika isinya mampu menjadi sumber ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

Rabu, 21 November 2012

Asal Legalitas, Teori, Praktik dan Permasalahannya


A.  Latar Belakang

Asas Legalitas dalam hukum pidana Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaran voorafgegane wettelijk starfbepaling”. Pasal ini oleh Engelbrecht diterjemahkan menjadi “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang mendahului perbuatan itu.” Kemudian oleh Tim penerjemah BPHN diterjemahkan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada “.
       
Asas legalitas tersebut, dalam ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah “nullum delictum nulla poena sine pravia lege Poenali.   Asas nulla poena mula-mula diperkenalkan oleh Montesquieu, kemudian Rousseau, dan Beccaria. Oleh Paul Johann Anseln von Feurbach, dirumuskan dalam bahsa latin “ nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali  
     
 Asas tersebut, saat ini sudah diterima oleh sebagian besar negara –negara Eropa dengan mencantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana negaranya masing-masing. Di negara Anglo Saxon, asas Legalitas diterima dalam doktrin :Actus non facit renum nisi means sit rea (an act does not itself contitute guilt unless the mind is guity), sebagai hukum tidak tertulis, dan terwujud dalam praktek pengadilan. Namun demikian, di negara-negara yang pemerintahnya bersifat totalitery asas legalitas tidak dapat diterima. Secara internasional, asas legalitas sudah diakuisecara internasional, yaitu dengan dicantumkannya dalam pasal 7 Perjanjian Roma 1950, Sebagai berikut :
  1. No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any fact or ommission which did not constitute a criminal offence under national or international law at the time when it was commited nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the criminal ofence was commited.
  2. This article shall not prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which at the time when it was commited, was criminal according to the general principles of law recoonized by civilized nations.
Perkembangan asas legalitas tersebut di muka ternyata memang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh faktor-faktor yang ada dalam masyarakat suatu negara.
Asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, mengandung tiga asas yang penting yaitu :

  1. Hukum pidana yang berlaku di negara kita merupakan suatu hukum tertulis.
  2. Undang-undang pidana berlaku di negara kita tidak dapat diperlakukan surut.
  3. Penafsiran secara analogis tidak boleh dipergunakan dalam penafsiran undang-undang pidana.

B.                 Sejarah lahirnya Asas Legalitas
Pada Zaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan yang dikatakan jahat, namun belum diatur di dalam undang-undang.

Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris pada 1215 merupakan salah bentuk reaksi terhadap praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase pertama ketika manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia. Upaya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya telah ada sebelum lahirnya Magna Charta. Kitab suci agama Hindu, Veda, telah membicarakan perlunya penghormatan atas hak-hak asasi manusia sejak 3000 tahun yang lalu. Piagam Madinah yang ditandatangani Nabi Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi bahkan sebenarnya merupakan deklarasi kesepakatan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.

Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan rakyat dengan kekuasaan raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum.

 Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jaminan kepastian hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John Locke (1760).

Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian berkembang hingga ke Perancis, sebagai bentuk perlawanan atas kesewenag-wenangan raja Louis XIV, dengan simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan raja yang despotis. Perjuangan rakyat Perancis dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka Abad Pencerahan, Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Montesquieu lewat bukunya L’esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau “Dus Contrat Social, ou principes du droit politique” (1762) memperkenalkan pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja Louis.

Selain dipengaruhi oleh kedua filsuf tersebut perkembangan asas legalitas di Perancis juga dipengaruhi oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat George Washington, yang membawa pemikiran asas legalitas dari Amerika ke Perancis. Di Amerika, ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan. Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “ Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.” Beccaria, dalam “Dei delitti e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat suatu hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan jelas dan tegas, sehingga bisa memberi petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana.

Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian:

1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang.
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).


Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya ketentuan ini diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental –kepastian hukum dijunjung tinggi.

Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law. Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela)

C.                 Kelemahan Asas Legalitas sebagai tujuan Kepastian hukum

Penulis sudah menjelaskan tadi di atas bahwa adanya Asas legalitas dalam hukum membuat hukum tersebut tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Bahkan E Utrecht sendiri mengatakan bahwa adanya asas legalitas berarti membuat substansi dari hukum itu menjadi kaku. Pergeseran paradigma mengenai kejahatan telah terjadi di sini. Substansi sesungguhnya dari kejahatan yang berupa perbuatan tercela ( mala ini se ) telah bergeser dengan paradigma bahwa kejahatan itu dikenal karena di atur dalam peraturan perundang-undangan ( mala in prohibita ).

Jelas terjadi kekacauan dalam berhukum. Bahwa kejahatan dinilai lewat adanya peraturan perundang-undangan. Bahkan kejahatan tersebut di dianggap ada dan di defenisikan adanya dalam sebuah aturan perundang-undangan. Inilah kerancuhan dalam pemikiran para juris di negara-negara penganut asas legalitas termasuk Indonesia.

Kelemahan lain ialah bahwa adanya asas legalitas menjadikan aturan yang dibuat bersifat kaku dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Aturan yang dibuat pun hanya mampu bertahan beberapa tahun bahkan cukup singkat dikarenakan aturan tersebut harus direvisi terus menerus. Begitu cepat dan pesat bergeraknya perkembangan masyarakat tak mampu dijangkau oleh aturan yang kaku. Bahkan muncul adagium di telinga para juris bahwa “lex dura sed tamen scripta” (hukum yang tertulis itu kaku, dan begitulah bentuknya).

 Maka sangat angkuh ketika kita berani mengatakan bahwa persoalan di jagat hukum terutama dalam ranah pidana bahwa persoalan sosial apapun  mampu diatasi dengan memunculkan suatu teori  yang diyakini paling mutakhir namun banyak aspek-aspek yang mesti kita teliti akan penerapannya dalam dunia berhukum.

Kelemahan-kelemahan lain dalam Asas legalitas masih sangat banyak untuk dijelaskan dalam makalah ini namun penulis lebih memilih untuk menjelaskan mengenai permasalahannya dengan teori lain melalui poin-poin di bawah nanti melalui. Begitu luasnya jagat ilmu hukum maka apapun teori mengenainya pasti akan sangat luas pengkajiannya oleh para juris.


D.                Mengenai Eksistensialitas Asas Legalitas dalam Jagat Hukum

Kontroversi menjadi sering mencuat dipermukaan tentang berbagai masalah tersebut. Beberapa pendapat keberatan dianutnya asas tersebut di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut. Begitu pula asas tersebut menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilema, karena memang dilihat dari segi yang satu tentang hukum adat yang masih hidup dan mengenai Kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai Negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.
Pengungkapan media yang berlebihan akan menibngkatkan tekanan publik yang demikian besar. Sehingga beban kemasyarakatan dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat akibat perubahan dan perkembangan masyarakat dewasa ini khususnya di bidang hukum dan keadilan, perlu diimbangi dengan sikap tanggap untuk lebih memantapkan prinsip “kembali pada hukum, keadilan dan kemanusiaan”  secara proposional
1.     Perdebatan mengenai RKUHP

Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek
van Straftrecht (WvS). Asas legalitas pada dasarnya menghendaki: (i) perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (ii) peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan.

Tetapi, adagium nullum delictum,nulla poena sine praevia lege poenali telah mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 Rancangan KUHP berikut ini:

(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan
analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
            diatur dalam peraturan perundang undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa.

Sebagian ahli hukum pidana menganggap bahwa pengaturan tersebut merupakan perluasan dari asas legalitas. Tetapi, sebagian lagi menganggap pengaturan tersebut sebagai kemunduran, terutama bunyi Pasal 1 ayat (3). Akibatnya, timbul perdebatan di antarapara yuris Indonesia, bahkan yuris Belanda. Perdebatan ini seolah mengulang perdebatan lama ketika Kerajaan Belanda akan memberlakukan KUHP di Hindia Belanda, yaitu apakah akan diberlakukan bagi seluruh lapisan masyarakat di Hindia Belanda atau tidak. Namun,Van Vollenhoven menentang keras jika KUHP diberlakukan juga kepada pribumi.

Pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP kontradiktif dengan Pasal 1 ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Padahal Pasal 1 ayat (3), menurut Prof. Andi Hamzah,merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam hukum pidana. 

2.   Antara Kepastian Hukum dan Tujuan Keadilan
Berbagai kasus hukum  Bibit Chandra dan Minah pencuri Kakao yang dihukum 6 bulan menghangatkan perbincangan hukum di anatara masyarakat. Tampaknya kepercayaan terhadap penegak hukum sudah dalam titik nadir. Orang miskin terlalu mudah mendapatkan hukuman orang kaya sulit mendapatkan hukuman.
 Memang hukum harus berkeadilan tetapi keadaan abnormal ini akhirnya jadi kebablasan. Para pencuri baik miskin atau kaya dianggap wajar. Bila hukum semakin tidak dipercaya kekacauan tinggal menunggu waktu
Tidak ada yang lebih jahat ketimbang penegakan hukum tanpa keadilan. Hukum tanpa keadilan ibarat tubuh tak bernyawa. Pasal-pasal pada secarik kertas tidak bermakna apa-apa. Pasal-pasal mati.  Keadilan lebih dari sekadar nyawa bagi dokumen hukum. Institusi penegak hukum pun sepatutnya bernyawakan keadilan. Semua proses yang terjadi pada institusi itu harus bernapaskan keadilan. Proses yang terjadi bukan sekadar memenuhi proseduralitas dan formalitas legal.  Formalitas dan proseduralitas legal sekadar sarana bagi keadilan. Apabila sarana itu dipakai untuk melukai rasa keadilan, tidak ada pilihan lain: keputusan politik harus dijatuhkan berdasar doktrin kedaruratan 
Tertib sosial hanya dapat tercipta apabila hukum dibangun dengan kesadaran dan tanggungjawab moral untuk membela keadilan. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimnya, maka hukum hanya akan terperosok menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Tak salah kalau Aristoteles melihat bahwa keadilan merupakan keutamaan yang lengkap dibandingkan dengan keutamaan lainnya. Menegakkan keadilan dalam hukum merupakan tugas krusial lembaga negara dalam menegakkan hakekat keadilan itu sendiri dan menegakkan cahaya hakekat kebenaran yang akan memancar menebarkan kedamaian dan ketertiban sosial.
3.      Asas Retroaktif  VS  Asas Non Retroaktif (legalitas)
Sampai sekarang yang dikenal dengan kejahatan internasional adalah kejahatan bajak laut dan bentuk kejahatan yang disebutkan dalam statuta pembentukan International Criminal Court (ICC), yaitu melipuiti: Kejahatan genosida, Kejahatan terhadap kemanusian, Kejahatan perang, Kejahatan melancarkan perang agresi. Dalam ketentuan hukum internasional, konsep pemberlakuan asas retroaktif hanya boleh diterapkan terhadap bentuk-bentuk kejahatan internasional, yaitu bentuk-bentuk kejahatan yang telah disebutkan dalam statuta pembentukan Mahkamah Pidana Internasional.

Pemberlakuan asas retroaktif (penyimpangan terhadap asas legalitas) sejatinya bukan hal baru dalam dunia hukum. Proses peradilan penjahat perang Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Rwanda (1993) dan Yugoslavia (1996) dan kasus Amrozi cs di Bali (2002) adalah deretan contoh pemberlakuan asas berlaku surut untuk menyeret para tersangka ke depan meja hijau. Penerapan asas retroaktif secara terbatas ini jelas membuktikan bahwa asas hukum non-retroaktif bukan lagi asas hukum yang bersifat universal. Indonesia sebagai negara yang menempatkan prinsip legalitas dapat menerapkan asas retroaktif dalam suatu kasus pidana yang memiliki kekecualian dalam sifatnya. Misalnya, diterapkan terhadap kasus dalam hukum pidana yang berkaitan dengan kejahatan yang dinamakan extra ordinary crime (kejahatan Luar biasa)  atau kejahatan yang tidak ada pengaturannya dalam hukum tertulis. Asas retroaktif juga diterapkan terhadap kasus yang mengakibatkan pembalasan atau asas (lex talionis), tidak adanya kepastian hukum dan dikhawatirkan dapat menimbulkan kesewenangan dari pelaksana hukum dan elite politik dengan akibat eksesif adanya suatu balas dendam politik, yang berakibat chaos-nya suatu negara.

4.   Munculnya Asas Oportunitas
Asas oportunitas, Yaitu suatu asas yang memberikan hak, baik kepada kepolisian maupun kejaksaan, untuk kepentingan umum dan sangat perlu, dapat mengesampingkan suatu perkara. Dengan asas dimaksud perkara tersebut tidak sampai pada tahap penuntutan oleh kejaksaan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah, dalam batasan “apa” dan “bagaimana” suatu perkara dapat diklasifikasikan sebagai perkara yang mengandung kepentingan umum.
 

Terkait kasusnya Soeharto adalah suatu masalah yang pelik. Namun, dengan kondisi Soeharto yang demikian, tidaklah mungkin ia dapat di dudukkan di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Sebab, bagaimanapun kejamnya hukum pidana, ia masih bersifat manusiawi. Selain itu, dalam standar universal peradilan pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, seseorang yang sedang sakit berat tidak mungkin dihadapkan di persidangan. 

     kasus Soeharto sebagaimana diusulkan sebagian orang, sulit menemukan alasan tepat untuk mengesampingkan penuntutan terhadap Soeharto. Secara garis besar hanya dapat dilakukan dengan 3 kemungkinan. Apakah dengan menghentikan penuntutan, menutup perkara demi kepentingan hukum, atau dengan menggunakan asas oportunitas
Pertama, penghentian penuntutan hanya dapat dilakukan jika perkara itu kurang bukti atau bukan perkara pidana. Dalam kasus Soeharto, perkara telah dilimpahkan ke pengadilan. Artinya dari sudut pandang jaksa penuntut umum, perkara memiliki bukti memadai untuk membuktikan dakwaan terhadap Soeharto. Kedua, menutup perkara demi hukum hanya jika terjadi nebis in idem, perkara itu kedaluwarsa atau terdakwa meninggal dunia. Lalu keadilan masyarakat dikorbankan dan kesungguhan pemerintah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme seperti tertuang dalam Tap MPR XI/MPR/1998 patut dipertanyakan. Dan kemungkinan ketiga adalah menggunakan asas oportunitas, yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
 Dalam konteks hukum acara pidana, asas oportunitas ini merupakan pengecualian dari asas legalitas yang berarti, tiap perbuatan pidana harus dituntut.
5.    Peradilan Adat

Dalam dimensi kedaerahan, masih sering kita jumpai masyarakat setempat menggunakan hukum adat sebagai konteks utama cara berhukum mereka. Hal ini memang sesuai dengan kondisi budaya ketimuran yang memang benar-benar melekat dalam tubuh bangsa Indonesia ini. Tak dapat dipungkiri negara Indonesia yang terdiri dari ragam kemajemukan yang heterogen punya adat-adat yang sangat beragam macamnya, inilah khazanah budaya (local knowledge) sebagai heritage bangsa. Nah apa hubungannya dengan asas legalitas?
Sebagai negara hukum yang berpusat pada aturan kenegaraan yang berdaulat, maka hukum kita sama sekali memakai hukum-hukum tertulis sebagai landasan pacu berbangsa dan bernegara, maka asas legalitas menguatkan hal itu dimana aturan sesungguhnya yang dipakai ialah aturan-aturan tertulis (undang-undang) tapi bagaimana dengan hukum-hukum adat?
Meskipun negara kita ialah negara berbasis Eropa Kontinental, toh negara kita tak bisa dilepas oleh peran hukum-hukum adat sertalembaga-lembaga adat dalam menjaga moralitas bangsa. Menurut hemat saya, hukum adatb tetaplah mesti dipertahankan sebagai kultur moralitas bangsa yang berakar pada bhinneka tunggal ika. Tengoklah daerah Kajang, Bulukumba yang masih mempertahankan adatnya, di Bali misalnya ada komunitas pecalang sebagai hukum adat mereka, di daerah Sabu pun mereka punya lembaga-lembaga adat, di Yogyakarta, Papua, Aceh, dll serta di daerah-daerah lain. Hakikatnya ialah hukum merupakan filosofi moral berbangsa, maka hukum adat sangat memegang teguh peranan tersebut. Mengkhianati budaya serta hukum adat bangsa maka sama halnya dengan menghancurkan peradaban bangsa itu sendiri. bagaiamanpun hukum adat tetaplah harus dipertahankan dan mesti diakui oleh negara sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.
                 Kesimpulan
Dari penjelasan panjang di atas maka penulis hanya ingin menggores pena sedikit akan permasalahan di atas. Tanpa teori yang jelas maka penulis menarik kesimpulan lewat berbagai macam literatur dan buku-buku mengenai hal tersebut bahwa Asas legalitas muncul demi memperkuat salah satu Tujuan hukum yaitu tujuan Kepastian Hukum tanpa melihat dua manfaat yang lain yaitu Kemanfaatan dan Keadilan maka jelaslah bahwa perlu adanya perbaikan yang fundamental secara keseluruhan mengenai Asas tersebut. Begitu kentalnya doktrin asas tersebut menjadikan para hakim lebih menjadi corong Undang-undang seperti ilmuwan yang menciptakan asas tersebut yaitu Montesquieu maka substansi dan tujuan munculnya asas ini oleh pembuatnya ialah anjuran kepada hakim agar hanya sebagai penyambung lidah dari undang-undang saja tidak lebih dari itu.
Jelas substansi dan tujuan asas tersebut tidak dapat lagi dijadikan doktrin bagi para juris. Bahwa inti dari munculnya pengadilan ialah untuk menghasilkan keadilan secara substantif bagi masyarakat bukan keadilan secara undang-undang. Dan akhirnya tujuan akhir dari dunia hukum kita untuk masyarakat ialah menciptakan negara hukum yang membahagiakan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, (Jakarta: Ghalia Indonesia),

Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, (Jakarta: Rineka Cipta),

A Ahsin Thohari, Dimensi Historis Asas Retroaktif, dalam www.kompascybermedia.com,
19 Februari 2005, dikutip dari Muladi, 2002.

P.A..F. Lamintang 1984 Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru

Romli Atmasasmita 1989 Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : Yayasan LBH Indonesia.

Artidjo Alkostar, Menggugat Ideologi Hukum RUU KUHP, http://www.kompas.com

Ali Achmad, 2011, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence),  Jakarta : Kencana

Rahardjo Satjipto, 2010,  Biarkan hukum Mengalir, Jakarta: Kompas
                                                  
Rahardjo Satjipto, 2010, Membedah Hukum Progresif , Jakarta: Kompas

Rahartjo Satjipto, 2010, Negara Hukum yang membahagiakan masyarakat, Jakarta: Kompas